Awal tahun 2015 memang bukanlah masa yang baik bagi low-cost carrier atau penerbangan murah di Indonesia. Pasca kecelakaan AirAsia QZ8501 pada Desember lalu, Kementerian Perhubungan berkoar-koar di media bahwa tidak ada lagi penerbangan murah, tidak ada lagi promo-promo seperti "Jakarta-Singapura hanya Rp 90.000,-" dan lain sebagainya. Kementerian Perhubungan juga secara frontal menyatakan bahwa banyak maskapai yang tidak memiliki izin jadwal terbang namun tetap berani melaksanakan penerbangan. Bahkan kementerian yang reaktif ini sempat dikonfrontasikan dengan petugas ATC di stasiun televisi swasta. Duh!
Secara tidak langsung (setidaknya demikian yang saya tangkap) tindakan Kementerian Perhubungan mengesankan bahwa AirAsia adalah maskapai murahan dan bobrok. Padahal, AirAsia adalah salah satu maskapai penerbangan murah terbaik di dunia menurut Skytrax. Skytrax adalah lembaga konsultan penerbangan Inggris yang melakukan review dan penilaian terhadap bandara dan maskapai di seluruh dunia. Penghargaan Skytrax terhadap AirAsia diberikan selama enam tahun berturut-turut. Garuda Indonesia bahkan dengan bangga menyematkan logo Skytrax pada iklan-iklan mereka karena mendapatkan review yang baik. Dengan kata lain, penghargaan dari Skytrax adalah prestasi yang tidak mudah dan membanggakan.
Pengalaman Pribadi dengan AirAsia.
Bagai nila setitik rusak susu sebelanga, nama baik AirAsia seolah-olah dicoreng dengan arang hitam. Sebenarnya menurut saya, bukan karena kecelakaan itu sendiri, melainkan karena tindakan Kementerian Perhubungan yang terkesan heboh tersebut. Padahal menurut saya, AirAsia termasuk maskapai penerbangan murah yang sangat memperhatikan aspek keamanan dan kenyamanan penumpangnya.
Beberapa kali saya terbang ke luar negeri menggunakan AirAsia, tidak pernah saya mengalami delay, penumpang masuk ke dalam pesawat pun telah diatur dengan tertib, dan kebersihan pesawat pun dijamin. Selain itu fasilitas self-check in AirAsia juga sangat mudah sehingga tidak perlu kita menumpuk di counter bandara. Memang, sebagai low cost carrier tentunya AirAsia tidak memberikan makanan secara gratis dan untuk tambahan-tambahan kenyamanan kita perlu mengeluarkan biaya tambahan. Tetapi tentunya untuk penumpang yang tidak neko-neko tentunya hal tersebut bukanlah masalah.
Pengalaman Pribadi dengan Lion Air.
Pada pertengahan tahun 2010 saya dan teman-teman melakukan study tour ke Bali dari Jakarta. Dalam perjalanan tersebut, kami menggunakan Lion Air untuk perjalanan pergi dan pulang. Sesampainya kami di Ngurah Rai, tentunya kami ke bagian baggage claim untuk mengambil barang. Jam pertama kami di Bali sungguh kurang menyenangkan hati. Beberapa koper kami ditemukan robek dan terbuka termasuk koper saya sendiri. Bahkan, salah satu teman saya kehilangan barang yang disimpannya di dalam bagasi. Kami beramai-ramai datang ke manajemen Lion Air di bandara. Setelah sedikit beradu mulut dan protes, akhirnya pihak maskapai setuju untuk mengganti barang-barang kami yang rusak atau hilang dengan menandatangani surat pernyataan untuk klaim di Jakarta.
Masih dalam perjalanan yang sama, sepulangnya kami dari Bali ke Jakarta ternyata pesawat kami ternyata didelay beberapa jam. Kami berserakan di ruang tunggu Bandara Ngurah Rai seperti orang yang tidak jelas nasibnya. Saat itu kami sedang kelelahan dan penerbangan tersebut adalah penerbangan malam. Peristiwa inilah yang membuat saya geram dan mengerti rasanya menjadi penumpang yang terlantar. Rasanya seperti tidak ada harga diri diterlantarkan begitu saja tanpa penjelasan atau segelas air mineral pun.
Entah sial apa yang membuat saya harus mengalami deja vu seperti itu lagi, kejadian serupa terjadi tiga tahun kemudian. Pada tahun 2013 saya berlibur ke Bali sendiri. Selepas berlibur saya kembali ke Jakarta menggunakan Lion Air, kejadian tahun 2009 silam tentunya sudah tidak saya pikirkan. Namun sungguh sial, penerbangan Lion Air ke Jakarta dan berbagai tujuan lain dari Bali ditunda karena (seingat saya) ada demonstrasi pegawai di Bali sehingga mereka harus mengirim petugas manajemen dari Jakarta. Saya tiba di Bandara Ngurah Rai sekitar pukul 9 malam dan terbang ke Jakarta dengan penerbangan pengganti yaitu Batik Air pada pukul 2 subuh hari berikutnya. Saat itu saya cukup puas meski delay 3-4 jam, karena kami diberi makan yang layak dan pihak maskapai terpaksa men-top up kami ke Batik Air. Tapi sungguh kasihan, seingat saya masih ada penerbangan Lion Air lain yang mengalami delay lebih lama daripada saya. Saat itu kami mengantre di Bandara Ngurah Rai baru yang masih tahap konstruksi. Panas, sempit, dan pastinya banyak turis asing yang juga ikut merasakan kejadian tersebut.
Bukan Kebetulan.
Berdasarkan kejadian-kejadian tersebut yang terjadi berulang-ulang, saya menyimpulkan ini bukanlah kebetulan. Ada yang salah dengan manajeman Lion Air sehingga internal mereka tidak siap untuk memenuhi ekspansi yang mereka lakukan sendiri.
Jasa Lion Air.
Meski demikian, saya salut dengan Lion Air Group karena merupakan maskapai terbesar yang menyediakan rute terbanyak di Indonesia. Lion Air sebagai maskapai berani membuka berbagai variasi rute sehingga mempermudah transportasi di negara kita yang kepulauan ini.
Kesimpulan.
Kementerian Perhubungan haruslah dengan kepala dingin menyelesaikan masalah penerbangan di Indonesia, dan jangan main tebang pilih. Tegaslah secara setara kepada satu maskapai dengan maskapai yang lain dan kenakan sanksi sesuai pelanggaran dan kerugian yang dialami penumpang. Sebab bila kementerian tegas, seharusnya tidak adalah lagi masalah yang sama muncul berulang-ulang kali dari tahun ke tahun.