Sambil browsing mencari literatur berkenaan dengan hal di atas, secara nggak sengaja saya temukan satu postingan yang sangat singkat, padat, dan jelas oleh Sdr. Hireka, berkenaan dengan ber-agama menurut ilmu psikologi
Secara umum pandangan Ilmu Psikologi terhadap ber-agama, didasarkan dari pandangan Sigmund Freud, yang menyatakan bahwa orang ber-agama mengalami gangguan kejiwaan, delusi, memgkhayalkan sesuatu yang tidak ada.
Saya kutip dari Sdr Hireka sbb:
"# Dalam pandangannya atas agama, Freud mengemukakan Tesis:
“Praktek agama atau agama itu sendiri tidak lain adalah neurosis yang dilakukan bersama-sama.”
“Neurosis as an individual religiosity and religion as a universal obsessional neurosis.” (lih. “The Complete Psychological Works of Sigmund Freud”, standard edition, Vol. IX, hlm. 126)
# Sebenarnya ada 4 karya dari Freud ttg pandangannya atas agama, a.l.:
1. “Obsessive Acts and Religious Practices” (1907)
2. “Totem and Taboo” (1913)
3. “The Future of an Illusion” (1927)
4. “Moses and Monotheism” (1940)
Namun, agar tidak kepanjangan, saya ambil sumber no.1 saja.
Alur Logikanya begini:
* Ada kesamaan ciri-ciri antara [1] pasien penderita NEUROSIS OBSESIF dan [2] pelaku RITUAL KEAGAMAAN (umat beragama).
* (Catatan: Neurosis Obsesif = penyakit mental yang menguasai pasien untuk melakukan terus-menerus perbuatan2 aneh tanpa ia sendiri sanggup menghentikannya, misal: setiap kali menengok apakah pintu rumah sudah terkunci dan terus menerus merasa cemas atasnya)
* Kesamaan itu adalah: kedua-duanya [1] menomorsatukan RITUAL SAMPAI SEKECIL-KECILNYA dgn kekhawatiran utk [2] melakukan sesempurna mungkin dan [3] takut ada yang terlupakan. Keduanya pun yakin bahwa [4] dengan praktik sempurna ritual tsb, orang akan mendapat perlindungan atau kompensasi dari hukuman. [5] Semua ini dilakukan dalam kondisi ketidaksadaran terus-menerus (impulsively unconscious).
* Bedanya, perbuatan neurosis dilakukan secara individual, sedangkan ritual keagamaan dilakukan bersama-sama dalam 1 komunitas.
* Selain itu, dalam perbuatan neurosis terjadi represi atas kecondongan seksual. Sedangkan, dalam ritual keagamaan yang direpresi adalah kecenderungan egois dan asosial (=manusia diharuskan terus-menerus cinta sesama dan takut untuk egois).
Sumber: http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090624031736AAvqF0d
American Psychological Association mengeluarkan pernyataan atas dampak negatif agama yang menimbulkan pra-sangka dalam kehidupan di masyarakat sehari-hari.
"Prejudice based on or derived from religion and antireligious prejudice has been, and continues to be, a cause of significant suffering in the human condition."
Dua sifat dasar dari agama, yaitu:
1. Komunikasi vertikal satu-arah (one-way communication). Komunikasi dari manusia KEPADA Tuhan, dan bukan sebaliknya.
2. Sifat ke-1, karena terbiasa ber-komunikasi satu-arah, menyebabkan timbulnya mis-komunikasi, dan pra-sangka (prejudice) terhadap interaksi kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Lebih lanjut, ke-2 sifat di atas, menimbulkan masalah-masalah di segala bidang yang terjadi terus-menerus tanpa ada solusinya, sehingga secara signifikan mengurangi kualitas kehidupan masyarakat.
Fakta empiris di dunia menyatakan bahwa salah satu faktor-utama penyebab perang, pertikaian, dan kekacauan yang mengakibatkan rendahnya kualitas kehidupan masyarakat adalah faktor agama.
Menarik untuk mengkaji secara fakta-empiris, perbandingan antara kualitas-kehidupan masyarakat di negara-negara seperti Arab Saudi, Pakistan, Mesir, Afganistan, Iran, Irak, dengan masyarakat di Jepang, Inggris, Jerman, Belanda, Perancis, dan China,
Kesimpulan:
Menurut Ilmu Psikologi: Orang ber-agama jiwanya mengalami gangguan dan tidak-normal alias GILA.