Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi Pilihan

Elitisme

24 September 2021   00:46 Diperbarui: 24 September 2021   00:54 151 6

Terasa seperti digenggam.
Terbuai sehanyut tenggelam.

Menanam dan mencari.
Menari dan melambai.
Menua dan menuai.

Semua digelapkan cahaya,
darinya cerita sandiwara.

Ketergantungan terhadap indra,
indranya yang suara,
indranya yang cecap,
indranya yang cakap,
indranya yang telah gelap,
gelapnya yang tak buta.

Namun setia permainkan kita,
juga kita yang korbankan dunia.

Demi dirinya.
Demi hidupnya.

Semua kelangsungan akan halangan,
kita yang mencegah rintangan.

Semua itu tanpa balas,
semua itu tanpa iba,
semua itu tanpa wisuda belas kasih.

Setelah sekian rusaknya kami sebagai wayang.
Sesudah kami membuatnya senang dengan uang.

Kami menyebutnya dalang.
Lakon kami juga lakon dalang,
kami dalang yang dilakonkan.

Namun kami kalah atas prinsip:
"Merendah tuk menjilat", juga;
"Di bawah pun terangkat", Sama pun;
"Di luar tak terikat".

Sejalan dengan rusaknya panggung.
Terbelalak mata kami tersinggung.
Bambu tanpa sarung.
Bumi tanpa jantung.

Ketika tipuan sandiwara tersembunyi juga menggantung,
menggantung pada cekal cikal bakal,
cikal bakal dalang maha berakal.
Teramat baik pula dalang tak pernah berpikir dangkal.

Terjungkal,
kami terjungkal,
Karenanya kami selalu merasa gagal.

Namun setelah kami gagal tak berarti,
tak berarti pasti antara hidup dan mati,
juga tak berarti hati peduli dengan seni, imitasi, dan semua prestasi.

Kami sudahi, kami sudahi, kami sudahi,
dengan sakit juga dengan sabar,
dengan tabah juga tanpa lelah.

Kami mati, mati, dan mati,
terakhiri dengan pasti,
dan nyatakan bahwa Tuhan adalah dalang yang maha peduli.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun