Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Hana Risa Suba III

23 September 2011   01:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:42 103 0
“Brm brm brm”,

Kedua moge itu berhenti menyilang menghadang jalan Raito yang berjalan melewati jalan perumahan sunyi itu.

Preman berkacamata hitam itu membuka kacamatanya, menaruh kacamata itu di saku depan bajunya yang tertutup jaket hitam, memandangi Raito dengan tatapan tajam, sementara preman satunya membuang puntung rokok dan berjalan mendekati Raito.

Raito berjalan mundur berusaha menjauh dari kedua preman itu dengan kaki yang bergetar sedikit takut. Pada saat yang bersamaan, dari arah belakang kedua preman itu, seorang perampok yang mengenakan jaket kulit hitam sama dengan yang dipakai preman itu lari dari kejaran massa. Ketika berdekatan dengan preman itu, perampok tersebut melempar tas hasil rampokan ke pangkuan preman itu. Raito tak menyia-nyiakan kesempatan itu. ia berteriak dengan jarinya menunjuk ke arah kedua preman itu.

"KOMPLOTAN...KOMPLOTAN..."

Kedua preman itu bingung lalu ikut berlari. Perampok yang asli berlari berbelok ke arah kanan dan ke dua preman itu berlari berbelok ke arah kiri. Sementara massa terbelah menjadi dua untuk mengejar perampok dan preman yang berlari berlawanan arah itu. Ketika suasana sudah sepi, Raito dengan tenangnya melarikan diri dari TKP, tersenyum dan berbicara sendiri.

“ Dasar preman bodoh.”

Sementara kedua preman itu sembunyi dari kerumunan massa di balik tong sampah yang besar di balik gedung yang berhimpitan,

"Bodoh, kenapa kamu masih saja pegang tas itu!"

Preman yang satunya lalu melempar tas itu jauh dan jatuh di trotoar. Salah satu massa yang tahu dari mana arah tas jatuh langsung mengajak kawan-kawannya mengepung tempat persembunyian kedua preman itu. Mereka dihajar habis-habisan, sekalipun mereka memberikan perlawanan, namun, tubuh mereka tetap tak kuat menahan pukulan dan tendangan dari 25an orang. Sepuluh menit kemudian tiga orang Polisi datang menyelamatkan preman itu.

"Kalian salah keroyok."

Polisi itu memisahkan kedua preman dengan kerumunan massa dan membubarkan mereka.

Massa tanpa ada perasaan bersalah meninggalkan kedua preman yang babak belur itu. Polisi yang sudah kenal dengan preman di lingkungan itu menyuruh mereka ke rumah sakit untuk perawatan. Tapi mereka sok kuat,

"Tak apa pak, kami pulang saja."

Mereka pulang dengan jalan tertatih-tatih. Mereka melewati jalan perumahan dan mendapati mogenya yang diparkir di pinggir jalan hilang.

Mendengar cerita itu Bos Ersa tersenyum lalu turun dari tangga teras mendekati kedua anak buahnya, berdiri ditengah keduanya yang sedang berdiri di halaman rumahnya dan memberi ciuman pipi kepada kedua anak buahnya itu. Lalu Ersa merogoh saku jaket kulitnya, memberi uang satu juta untuk pengobatan dan kalau bersisa ia meminta mereka untuk mengajak teman-teman yang lain berpesta satu hari setelah itu. Ersa meminta mereka ke rumah sakit saat itu juga karena Ersa mau beristirahat. Ia juga berharap mereka tidak memikirkan masalah dengan orang yang dia suruh untuk dihajar. Dan mengingatkan mereka kalau Moge mereka biar diurus oleh pamannya.

"Ok bos"

Kedua preman itu lalu pergi ke rumah sakit terdekat menunggangi mobil yang dipinjami oleh Ersa. . Setelah itu Ersa masuk ke rumah dan menutup pintu depan. Ersa berbicara sendiri.

"Temanmu itu benar-benar menarik."

"Teman siapa kak?"

Risa mengagetkan kakaknya.

"Bukan siapa-siapa dik, tidur saja sana, sudah malam ini."

Dengan bibir cemberut Risa menuruti kata-kata kakaknya kembali ke kamar. Hari itu, hari yang cukup sibuk bagi keempatnya.

Sabtu, 8 Oktober 11. Pagi hari, Raito seperti biasa bangun pukul 04.00. Kali ini, Olan juga bangun sesuai alarm Raito. Olan menengok Raito di kamarnya. Tak seperti biasa, Raito sedang memegang raket tenis Wilson kesayangannya dengan tangan kirinya, mengayunkan raketnya di kamarnya itu seolah-olah sedang bermain tenis.

Raito mengajak Olan untuk bermain tenis lagi pagi itu. Tetapi, ajakan itu lagi-lagi ditolak oleh Olan.

Olan bertanya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun