Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Hana Risa Suba II

21 September 2011   06:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:46 76 0
Minggu depannya, hari Selasa 13 Septemper 11. Raito seperti biasa, bangun saat mentari belum menunjukkan cahayanya. Pukul 04.00 dia bangun. Dia keluar kamarnya dan menutup pintu secara perlahan. Lalu dengan langkah kaki mengendap-endap menuju kamar Olan yang bersebelahan di sebelah kanan kamar Raito, membuka pintunya yang ternyata tak terkunci secara perlahan pula. Raito sekarang sudah berada di samping kasur Olan, memandangi Olan yang masih tidur nyenyak, lalu mendekatkan mulutnya ke kuping kanan Olan dan teriak-teriak disana.

"Bangun woy...bangun!"

Masih berselimut dan mata tertutup tubuh Olan bergerak-gerak dan mulutnya menjawab.

" Berisik ah."

Raito tetap menggoda sohibnya itu agar bangun. Mulai dengan membunyikan alarm jam weker. Olan pun menutup wajahnya dengan bantal. Masih belum bangun juga. Raito tak kehabisan akal, dia menyalakan lampu kamar si Olan. Olan pun menutup matanya dengan selimut.

Merasa apa yang dikerjakannya sia-sia karena Olan tak juga bangun, Raito membiarkan lampu kamar Olan menyala dan pintu terbuka lalu beralih haluan kembali ke kamarnya dan berkaca, membasahi bibirnya yang berukuran sedang itu, menyipitkan matanya yang sudah sipit, mengacak-acak rambutnya yang selalu berdiri walau tak diberi gel itu dan menyalakan komputer. Lalu meneruskan permainan manajer sepakbola favoritnya di hari yang masih pagi itu.

Satu jam berselang, Olan yang sudah bangun dan terlihat segar dengan wajah yang sudah terbasuh air masuk ke kamar Raito, berdiri di belakangnya, menjitak kepala Raito. Raito kaget,

“Eh apa-apaan ini?”

“Sana subuhan dulu.”

Kata Olan dengan sedikit membentak.

“Ya ya.”

Raito beranjak dari tempat duduknya, pergi keluar kamarnya untuk mengambil air wudhu di kamar mandi yang terletak di lantai bawah dan beribadah di tempat yang memang dikhususkan untuk itu di sampingnya. Sementara Olan malah melanjutkan permainan Raito dan bergumam,

'Anak itu seandainya dia masih ada tak akan seperti ini.'

Raito selesai beribadah, lalu kembali ke kamarnya dimana masih ada Olan disitu.

“Lan, main tenis yuk pagi ini?”

“Nggak bisa aku, kamu kan juga ada kelas pagi ini!

“Ayolah Lan, masuk kelasnya kan jam 9, masih sempat.”

Rengek Raito. Olan menggeleng-gelengkan kepalanya tak mau meladeni sohibnya ini.

“Aku ini lawan yang tak layak untukmu Rit, cari saja dikampus nanti siapa tahu ada jagoan tenis sehebat dirimu disana.”

“ Jah!”

Sambut Raito kecewa. Setelah penolakan Olan, Raito melanjutkan permainannya di pc tadi. Sementara Olan kembali ke kamarnya.

Jam menunjukkan pukul 08.30

Olan mengantar Raito ke kampus karena Raito tak berani menyetir dengan surat ijin yang sudah kadaluarsa. Selama di dalam perjalanan, mereka tak banyak berbicara. Lima belas menit mereka sampai di kampus, Olan menurunkan Raito di tempat parkir yang berjarak tiga puluh meter dari kelas Raito, saat itu, Olan melihat Risa sempat berpapasan dengan Raito di tangga setengah berputar yang menghubungkan tempat parkir dengan kelas, namun, dia tak melihat reaksi Raito seperti di loket pendaftaran, Raito tampak acuh tak acuh dan berjalan seperti orang sok sementara Olan melihat Risa memandangi Raito dari belakang cukup lama. Sesudah melihat Raito masuk di pintu kelas, Olan pun menjalankan mobilnya pergi.

Raito memilih bangku paling belakang. Risa yang juga satu kelas memilih duduk di bangku tengah bagian tepi kanan. Sebelum kelas pelatihan dimulai, anak yang duduk disebelah Raito mengajak berkenalan, dia merespon dengan baik ajakan perkenalan itu. Sementara Risa yang sedari tadi melirik-lirik Raito dari bangkunya dikejutkan oleh teman-temannya.

"Hayo melirik siapa?"

Risa gugup, wajahnya pun memerah, Risa salah tingkah lalu mengambil note kecil di tasnya dengan kedua tangannya dan merunduk. Teman-teman Risa lalu menggelar pandangan ke arah bangku belakang di kelas itu.

"Pasti salah satu dari ketiga cowok yang duduk di bangku paling belakang itu yang ditaksir Risa."

Yakin Rina menunjuk ketiga cowok itu dengan tangan kanannya yang penuh dengan berbagai gelang, Wanda yang sedang memandangi Risa pun menyibakkan rambut lurus hitam panjang yang menutupi sisi kanan wajahnya untuk menoleh melihat ketiga pria itu dan membalas,

"Kalau aku milih si Renan, secara tubuhnya tegap begitu, pasti cowok kuat.”

Tyna, teman Risa yang berambut poni dan berkacamata itu menaikkan kacamatanya dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya masih bersandar di meja Risa dan ikut menimpali,

"Ketiganya tampak menarik buatku, aku suka ketiga-tiganya. Kalo kamu milih yang mana Sa?”

Tyna kemudian mengarahkan wajahnya ke wajah Risa yang duduk didepannya.

"Ih, kalian apa-apaan, ambil saja ketiganya, Aku nggak tertarik!"

Kata Risa mengelak.

"Itu, dosennya sudah masuk, duduk saja sana."

Lanjut Risa.

Kelas pelatihan pun dimulai. Format kelas pelatihan ini sedianya diadakan tiap hari Selasa dan Sabtu selama 12 x pertemuan. Selama enam minggu para mahasiswa ataupun orang-orang yang telah mendaftar mendapatkan pelatihan semacan work shop sesuai dengan jurusan yang mereka pilih saat registrasi. Hasil dari pelatihan ini nantinya setiap orang yang mengikutinya sampai akhir akan mendapat sertifikat dan juga diharapkan bisa memperkaya pengetahuan mereka, menambah kemampuan, mempermudah mereka mendapat pekerjaan atupun hanya sekadar menambah curriculum vitae.

Pukul 13.00 kelas selesai, sementara mahasiswa lain masih disibukkan oleh kelas mata kuliah lain yang waktunya berdekatan, orang-orang yang hanya terdaftar dalam kelas pelatihan diperbolehkan pulang. Waktu yang sempit ini dipergunakan oleh Wanda, Tyna dan Rina untuk menghampiri penghuni bangku belakang.

"Hai, Aku Rina, ini Tyna, itu Wanda." Ujar Rina memulai percakapan dengan memperkenalkan dirinya dan kawan-kawannya.

Sambutan dari ketiganya juga ramah.

”Aku Renan, ini Raito, itu Andi.”

Jawab Renan masih duduk di bangkunya itu sambil memegangi bahu kawan-kawannya.

"Eh, kita kan sudah pernah sekelas sejak semester satu, kenapa baru kenalan sekarang ya?"

Ujar Renan terheran dengan suara bassnya bertanya.

“Kamu mana sempat berkenalan dengan kita-kita, orang sibuk gitu."

Balas Wanda yang berada di depan Renan. Raito dan Andi pun terlihat bercakap-cakap dengan Tyna dan Wanda. Sementara Risa hanya bisa melihat mereka dari bangkunya. Tak lama kemudian, Raito dan Andi pamit karena mereka ke kampus hanya mengikuti kelas pelatihan saja. Sementara Renan bersama rombongan dara cantik itu pergi ke kelas lain untuk mata kuliah selanjutnya. Risa pun membuntuti kawan-kawannya itu dari belakang. Setiap pertemuan kelas pelatihan, hanya Risa yang menyendiri walau selalu diajak kawan-kawannya bergabung dan hal ini terjadi berulang-ulang sehingga Risa hanya bisa melihat keakraban mereka berenam.

1 Oktober 11. Selesai pertemuan ke 6 di kelas pelatihan. Malam itu, Risa menengok kakaknya di lokasi shooting. Menungguinya yang sedang beradu akting bersama Olan dan artis-artis lainnya dengan duduk di kursi taman yang berdekatan dengan lokasi shooting sendirian, memandangi air mancur di tengah taman itu yang terlihat dari 5 pancaran lampu yang tertanam di dalam lantai disekitar kolam. Shooting pun selesai pukul 20.00. Sementara Ersa membersihkan diri dari make up di samping anak buahnya yang berkumis tebal. Olan mendekati Risa yang sedang duduk sendiri itu dan duduk disebelahnya. Mereka mengobrol tentang hal-hal yang ringan. Tiba-tiba dari belakang bangku, Ersa menodongkan pistol ke kepala si Olan.

"Mau kamu apakan adikku?"

Olan kaget, secara spontan mengangkat tangannya dan berdiri lagi seakan-akan menyerah.

"N ng nggak aku apa-apain kok Er.”

Risa tertawa kecil melihat kejadian itu. Ersa pun menurunkan pistolnya.

"Gapapa kok Lan, lanjutin saja obrolannya, Aku tinggal ganti baju dulu."

Ersa menepuk bahu Olan dan berlalu ke ruang ganti yang terletak di sebelah barat kursi tempat Olan dan Risa duduk. Olan pun menimpali,

"Aku ikut Er ganti baju bareng kamu."

Ersa membalikkan wajahnya dan menodongkan pistol itu lagi dengan kedua tangannya.

"Otak cabul, mau mati ya kamu! Jagain adikku dulu, sehabis aku selesai, baru kamu."

Olan mengangkat tangan lagi,

"Gitu saja sewot."

Risa yang sedari tadi melihat akting diluar skenario itu menahan tawa dengan menutup mulut dengan tangan kanannya. Ersa berlalu masuk ke ruang ganti. Olan kemudian membicarakan Ersa, kakak Risa yang menurutnya selalu terlihat cantik tetapi juga berbahaya karena statusnya sebagai seorang ratu preman yang disegani. Tak lupa juga anak buahnya yang menyeramkan membuat seorang Olan bergidik nyeri kalau berhubungan lebih dekat dengan Ersa.

Risa yang menangkap gelagat rasa berharap Olan bisa menjinakkan kakaknya yang semakin liar setiap hari. Risa masih menunjukkan wajah yang seakan tertekan karena kesedihan. Olan yang merasa sok tahu berbicara panjang lebar mengenai kawan-kawan Risa yang sudah mempunyai mainan baru berupa cowok-cowok nan keren yang salah satunya adalah Raito. Olan heran mengapa juga Risa tak mau bergabung bersama mereka dan memilih menyendiri.

Jawaban dari Risa.

"Aku nggak bisa kak seperti itu, mereka takut kalau mendekatiku bakal kena hajar kakakku atau anak buahnya, Mereka yang sudah tahu kakakku tak akan berani dekat-dekat denganku."

Olan berpikir lebih lama dari sebelumnya. Ia lalu meminta tolong kepada Risa agar mendekati Raito.

"Tapi kakak tahu kan, mana mungkin cewek mulai dulu.”

Jawab Risa.

"Duh anak itu, benar-benar."

Gerutu Olan. Ersa selesai ganti baju lalu keluar ruangan dengan pintu yang tak terdengar. Merasa tidak diketahui keberadaannya oleh kedua insan yang sedang mengobrol asyik ini, ia mengendap-endap ke belakang bangku yang mereka tempati.

"Oke lah, kalau itu bisa aku atur. Kamu tenang saja Ris. Eh tadi kulihat sekilas kakakmu keluar, kemana ya?"

Olan yang seperti sekilas melihat Ersa keluar dari ruang ganti menyapu pandangan di sekitar pintu ruang ganti yang terbuka namun tak menemukannya.

"Ya sudah aku ganti baju dulu Ris, terima kasih ya Ris."

"Atas apa kak?"

"Mau jadi temannya temanku."

Risa tersenyum. Olan berlalu masuk ke kamar ganti. Ersa mengagetkan adiknya dari belakang bangku,

"Hayo, siapa temannya Olan?"

Risa kaget dan terlihat malu-malu menjawabnya.

"Bukan siapa-siapa kok kak."

"Cerita saja lagi."

Ersa lalu duduk disamping adiknya.

Risa menggeleng tanda tidak mau.

"Ya sudah kalau nggak mau kasih tahu, aku bisa kok cari tahu sendiri."

"Jangan Kak!”

"Kenapa?"

"Kali ini please kak, jangan ikut campur dulu."

"Ok, tapi kakak ngirim pengawal jarak jauh lebih banyak dari biasanya, siapa tahu kamu diapa-apain."

"Please kak, jangan. Kali ini biar aku sendiri yang mengurusnya."

Ersa mengucek-ucek rambut tebal adiknya, tersenyum,

"Adikku berusaha dewasa sekarang."

Ersa berdiri menghampiri manajernya yang sedang mengecek hasil shooting tadi bersama kameraman untuk ijin pamit. Ersa memanggil Risa untuk pulang. "Terus kak Olan bagaimana.”

"Tinggal saja, dia pasti lama didalam."

Ersa dan Risa pulang ditemani beberapa anak buah Ersa. Olan keluar dari ruang ganti. Tak mendapati kedua dara cantik itu, Olan berlari ke arah manajernya yang lagi duduk-duduk minum kopi bersama sutradara. Berbincang-bincang urusan kontrak. Hari itu berlalu dengan bintang bersinar terang di malam yang kelam.

Selasa, 4 Oktober 11, Pertemuan ke 7 di kelas pelatihan berakhir, dan sebagai tugas, para mahasiswa disuruh membuat resensi dari novel karya penulis baru yang berjudul organisasi udara oleh dosennya. Dikatakan oleh dosen itu bahwa novel itu sudah tembus angka 3000 copy. Capaian yang lebih dari cukup untuk novel baru. Sayangnya, identitas penulis tertulis di bawah judul dengan nama rekaan. Sementara identitas asli dirahasiakan oleh penerbitnya sendiri. Dalam wawancara yang dimuat di media cetak, pembicara dari penerbit berdalih semua itu atas permintaan penulisnya sendiri.

Raito kaget dan terbengong mendengar informasi itu dari dosennya. Sepulang dari kelas, sore itu pukul 16.00 Raito muncul di lokasi shooting Olan. Olan yang masih mengenakan kostum wayang gatotkaca kaget akan kehadiran Raito. Menghampiri Raito yang berdiri di belakang para kru yang sedang sibuk menata naskah.

Olan menghampiri Raito yang ternyata kesana hanya ingin bertanya masalah update jumlah bukunya yang sudah laku. Setelah diberi tahu Olan kalau jumlahnya 3431, Raito langsung membalikkan badan dan pergi begitu saja tak ada salam tak pamit juga.

“Ini anak datang tak diundang pulangnya tak sopan."

Ersa yang masih mengenakan baju bodo mendekati Olan,

"Siapa Lan?"

"Temanku Er.”

“Temanmu yang ingin dikenalkan ke adikku?”

“Eh, bukan Er bukan, bukan dia orangnya.”

Olan mengelak, ia bergumam dalam hati, 'waduh Raito dalam bahaya ini'.

“Benar bukan dia, kalau begitu siap-siap Lan, kamera sudah siap dari tadi itu.”

Olan tak menjawab tetapi langsung berjalan mendekati kamera. Sementara itu Ersa mengisyaratkan kedua anak buahnya yang sedang duduk-duduk di atas jok moge harleynya di sebelah timur taman dengan mengarahkan jari telunjuk tangan kirinya ke arah Raito. Lalu menempelkan jari itu di leher dan menggerakkannya horizontal. Ersa kembali ke tempat shooting dan mendekati sutradara yang memanggilnya untuk memberi naskah koreksi.

"Waduh, babak belur anak itu sebentar lagi. Kenapa juga dia muncul di waktu yang salah!"

Olan berbicara sendiri sambil memandangi kamera yang belum hidup. Ketika berjalan, Raito dihadang dua pria berbadan besar, terlihat kekar menunggangi moge. Entah apa yang terjadi dalam pertemuan itu. Malam harinya, Risa muncul di taman yang dekat dengan lokasi shooting itu lagi sambil membaca novel. Dalam kecemasannya terhadap keselamatan Raito, Olan menghampiri Risa dan berdiri didepannya.

"Hai Ris."

"Hai kak."

"Baca buku apa?"

Risa menunjukkan sampul novel itu.

Olan kaget. Senyum tersungging di bibir Olan.

"Kamu tahu siapa penulis novel itu."

"Rajasa."

"Itu bukan nama sebenarnya, kamu sebagai penulis juga tahu itu kan Ris."

"Tak begitu penting tahu penulisnya siapa kak Lan, yang penting karyanya menarik apa tidak, bermanfaat apa tidak."

"Lalu menurutmu, novel itu menarik tidak."

"Cukup menarik buatku, maka dari itu dijadikan tugas resensi sama dosen. Mungkin juga gara-gara ide ceritanya yang tak masuk akal tapi memberikan pemahaman alamiah bahwa ide itu bisa terwujud dalam dunia nyata yang diimajinerkan, dan dunia khayal yang eksis dalam dunia nyata."

"Ngomong apa kamu Ris, aku tak paham?"

"Ah sudahlah, mana mungkin paham kamu kak." Olan yang masih berdiri itu menahan amarah disindir sedemikian rupa dengan menarik dan menghembuskan napasnya kuat-kuat.

"Tapi, ada fakta yang tak bisa disangkal dari novel itu Ris."

"Fakta apa Kak?"

"Kamu kenal dekat dengan penulisnya."

"Maksud kakak?"

Olan kemudian menjelaskan kalau Rajasa itu kependekan dari RAito harJa prakaSA.

Risa tak menjawab. Merunduk memandangi novel di tangannya itu.

"Aku punya rencana membuat heboh kelasmu besok. Tapi aku harap kamu yang menyalakan api kompornya.”

Kata Olan yang mendekati Risa dan duduk disebelah kanannya.

Risa menoleh memandangi Olan.

Olan meminta Risa untuk mendatangi bangku Raito dan meminta tanda tangannya di novel yang di bawa itu dengan suara yang lantang. Olan berjanji akan menghubungi dosen untuk memberi tahu rencana ini.

Risa tak menghiraukan kicauan Olan, Ia berdiri, pergi menjauh dari Olan dan mendekati kolam air mancur di tengah taman itu.

"Ris... Ris..."

Olan memanggil Risa yang tak menoleh sama sekali. Dalam kebingungannya akan reaksi dari Risa. Olan teringat Raito. Ia lalu buru-buru pamit pulang. Ersa yang sedari tadi memperhatikan Risa, menghampirinya yang sedang berdiri di tepi kolam taman, mengajaknya makan malam di cafe terdekat yang tak jauh dari situ. Risa diam saja sambil mengikuti kakaknya yang berjalan ditemani beberapa preman anak buahnya. Sampai di rumah Olan kaget melihat Raito dikamarnya sehat-sehat saja dan sedang bermain game favorit di pcnya.

"Kamu baik-baik saja Rit?"

"Aku oke oke saja Lan, ada apa?"

“Tak apa kok Rit.”

Olan semakin bingung, tapi tak melanjutkan interogasinya ke Raito, dia langsung masuk ke kamarnya untuk rebahan. 'Ini anak hebat benar, bisa lolos dengan selamat dari anak buahnya Ersa, eh, tapi apa benar, ah sudahlah, daripada semakin bingung dengan yang terjadi di hari ini, lebik baik tidur!'

Pikirnya.

Sementara itu, di rumah Ersa, kedua anak buahnya yang bediri di halaman rumah terlihat babak belur wajahnya. Ersa yang sedang berdiri di teras rumah menginterogasi keduanya.

"Kalian berdua kalah melawan satu orang?"

"Bukan begitu bos, tapi waktu itu..."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun