[caption id="attachment_78711" align="aligncenter" width="300" caption="Rupa-rupa aksara di dunia (Sumber:
http://how-to-learn-any-language.com)"][/caption]
Jika kamu bertanya, "Apakah obsesimu?", saya akan menjawab, "Menjadi seorang poliglot!" Apakah poliglot? Kata "poliglot" (
polyglot)tergolong adjektiva dan verba. Sebagai adjektiva, poliglot berarti "
knowing, using, or written in more than one language" (Oxford Advanced Learner's Dictionary, 7th ed.). Sementara itu,
Wikipedia merumuskan seorang poliglot sebagai "
someone who aptly and with a high level of fluency uses many languages." Tambahan pula, secara etimologis poliglot berasal dari bahasa Yunani πολύγλωττος (polyglōttos, "many-tongued") yang diturunkan dari kata πολύς (polys, "many") + γλῶττα (glōtta, "tongue, language"). Singkatnya, seorang poliglot adalah seorang multibahasawan. Sekilas, ide ini mungkin kedengaran gila dan sulit, namun,
toh, sejarah mencatat ada banyak akademisi, sastrawan, filsuf, linguis, dll. yang cakap bermultibahasa. Sebut saja Paus Yohanes Paulus II, Paus Benediktus XVI, Jos
é Rizal, Friedrich Engels, Mantan Presiden RI Soekarno, dll (tokoh-tokoh lain
di sini).
Faktor-faktor Seseorang Menjadi Poliglot Ada banyak faktor yang membuat seseorang bermultibahasa. Salah satunya faktor orangtua. Seorang anak blasteran (lahir dari ayah dan ibu yang berbeda suku/ras dan bahasa) secara tidak langsung akan mahir dalam dwibahasa. Banyak orang Indonesia dalam derajat tertentu juga merupakan dwibahasawan: mampu berbahasa daerah masing-masing dan berbahasa Indonesia. Faktor lain adalah seringnya seseorang berpindah tempat kerja ke luar negeri. Saya pernah berkenalan dengan seorang teman yang fasih berbahasa Spanyol karena Ayahnya pernah bekerja di Peru dengan membawa seluruh anggota keluarganya. Kasus yang satu ini mungkin agak spesial karena tidak semua orang bisa mengalaminya. Mirip dengan faktor sebelumnya, sering jalan-jalan ke luar negeri rupa-rupanya memberi kontribusi tersendiri pada kemahiran berbahasa. Ada banyak poliglot yang mempelajari satu bahasa karena mereka tertarik dengan kebudayaan daerah yang mereka kunjungi itu. Sebenarnya masih banyak faktor lain, namun saya pikir kini giliran saya bercerita tentang motivasi saya sendiri.... :-P
Pilihan Bahasa Saya Saya seorang peminat bahasa. Dan, saya sendiri tertarik untuk mempelajari banyak bahasa karena satu bidang studi yang saya minati juga: filsafat (dan kitab suci). Sebagai seorang mahasiswa filsafat, saya tentu memiliki hasrat tersendiri untuk mampu membaca karya-karya para filsuf (terutama filsuf-filsuf Barat) dalam bahasa aslinya. Pasalnya, ada beberapa term ciptaan para filsuf yang jika diterjemahkan ke bahasa lain, mungkin akan kehilangan makna tersubtilnya. Misalnya saja, konsep
in-der-Welt-Sein Heidegger atau
être-pour-soi Jean-Paul Sartre. Oleh sebab itu, pilihan bahasa yang hendak saya kuasai jatuh pada bahasa
Inggris,
Prancis, dan
Jerman. Dari tiga negara inilah para filsuf Barat dari mazhab-mazhab
mainstream berasal. Sementara itu, jika ada kesempatan, saya juga berminat mempelajari teks-teks kuno kitab suci (Perjanjian Lama, Deuterokanonika, dan Perjanjian Baru). Maka, saya pun berencana menguasai bahasa
Ibrani,
Yunani, dan
Latin. Bahasa Yunani (koine) membawa keuntungan tersendiri sebab darinya saya juga akan bisa membaca karya-karya para filsuf Yunani kuno semacam Plato dan Aristoteles. Adapun Bahasa Latin akan membawa kemudahan tersendiri bagi saya untuk kemudian mempelajari bahasa turunannya:
Spanyol dan
Italia (dan Prancis, tentunya). Jika Kompasianer memperhatikan, fokus berbahasa saya memang masih pada level kecakapan
membaca dan
menulis. Padahal, masih ada dua kompetensi lain yang akan melengkapi:
mendengar dan
berbicara. Itulah, saya memang masih berusaha perlahan-lahan. Sejauh ini, saya merasa sudah mahir berbahasa Indonesia, cukup mahir berbahasa Inggris, sedikit mahir berbahasa Sunda, dan masih belajar bahasa Latin dan Yunani.
Lalu, bagaimana dengan kamu sendiri?
KEMBALI KE ARTIKEL