Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi Artikel Utama

Kualitas The JakPost Dipertanyakan

13 Februari 2010   05:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:57 914 0
[caption id="attachment_73507" align="alignleft" width="300" caption="Is The Jakarta Post reliable enough? (Logo The Jakarta Post dari thejakartapost.com)"][/caption] Sementara banyak orang kini berdiskusi soal nasib Prof. Banyu Perwita yang ketahuan berplagiat, perhatian saya saat ini justru menjurus pada satu pertanyaan baru: Apakah The Jakarta Post adalah harian yang sungguh berkualitas dan dapat diandalkan? Sisi lain ini saya ajukan karena dua alasan. Pertama, media mainstream tampaknya tidak mungkin mempertanyakan kualitas media rekanan mereka--jadi hanya para pembaca yang sanggup melontarkan kritik demikian. Dan kedua, sungguh, kualitas (staf editorial) The Jakarta Post per se patut diragukan. Jika ada ungkapan, hanya keledai yang jatuh dua kali pada lubang yang sama, a fortiori harian berbahasa Inggris terbesar di Indonesia ini ("the largest English newspaper in Indonesia") pun seharusnya tidak main-main soal kualitas artikel mereka. Namun, nyatanya, The Jakarta Post sudah "kecolongan" artikel hasil plagiat setidaknya tujuh (7) kali. Berikut adalah kumpulan artikel yang dianggap merupakan hasil plagiat namun telanjur dimuat dalam harian The Jakarta Post (JP): 1. Pada tanggal 17 Februari 2000... (a) Irwan di Bandung melaporkan bahwa artikel Otong S. Djuharie (dosen Kajian Islam di Universitas Sunan Gunung Djati, Bandung) yang berjudul "Finding the funny side of things, a good reason to laugh" (dimuat di JP, 28 November 1999) merupakan hasil plagiat karya Janet Spencer, "Why We Laugh" (dimuat di Woman's Daily Journal, 1974). Sumber dapat dilihat di sini. (b) Masih pada tanggal yang sama, Irwan dan Shafwan A. Purwara melaporkan pula bahwa artikel Otong S. Djuharie yang berjudul "Building Professional Teachers"(dimuat di JP, 15[atau 25?] Januari 2000) merupakan hasil plagiat dari sebuah buku karya H. Douglas Brown, Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy (bab 22, halaman 425-443), penerbit Prentice Hall, Inc. (1994). Sumber dapat dilihat di 1(a) dan di sini. Terhadap kedua laporan pembaca di atas, editor JP menanggapi dengan excuse, "Because of the great number of articles submitted to us for consideration, it is not always possible to ascertain whether any of them have been plagiarized." 2. Pada tanggal 28 November 2009 editor JP mengeluarkan pengumuman "kecolongan". Artikel Choirul Mahfud yang berjudul "Expressing Chinese Islam" (dimuat di JP, 20 November 2009) merupakan hasil plagiat karya Anne Dickson berjudul "Chinese, Muslim - and proud of it" diterbitkan di Inside Indonesia (2009). Sumber dapat dilihat di sini. 3. Pada tanggal 4 Februari 2010 lagi-lagi editor JP mengeluarkan pengumuman "kecolongan". Artikel Prof. Banyu Perwita yang berjudul "RI as a new middle power?" (dimuat di JP, 12 November 2009) merupakan hasil plagiat karya Carl Ungerer yang berjudul "The 'Middle Power' Concept in Australian Foreign Policy" yang diterbitkan di the Australian Journal of Politics and History (Vol. 53, No. 4, 2007, hlm. 538-551). Sumber dapat dilihat di sini dan di sini. [PS: tautan untuk membuka artikel "RI as a new middle power" tampaknya sudah dinonaktifkan oleh JP. Entah mengapa...] 4. Pada tanggal 7 dan 9 Februari 2010. Menanggapi pengumuman JP di no.3, sejumlah Kompasianer berbagi bukti-bukti tambahan plagiarisme yang dilakoni Prof. Banyu Perwita. Setidaknya ada tiga artikel lain yang merupakan hasil plagiat namun telanjur dimuat di JP, antara lain: (a) "Rising China and the implications for SE Asia" (JP, 4 Februari 2008). Sumber berita di sini. (b) "RI’s defense transformation" (JP, 14 Juni 2009). Sumber berita di sini. (c) "The US growing interest in Southeast Asia" (JP, 30 Juli 2009). Sumber berita sama dengan 4(b). Tentang laporan no.4, editor JP sejauh ini belum mengumumkan secara resmi apakah ketiga artikel tersebut sungguh-sungguh dapat disebut hasil plagiarisme. Jadi, kesimpulan sementara yang dapat kita ambil adalah: staf editorial The Jakarta Post tampaknya belum menerapkan Standar Operasional Prosedur yang efektif untuk menangkal masuknya artikel hasil plagiat. Padahal, saya kira, memindai suatu artikel untuk mengecek apakah artikel tsb. adalah hasil plagiat bukanlah pekerjaan sulit. Kawan-kawan Kompasianer yang ahli dalam bidang IT tentu paham soal ini (silakan berbagi tips dan trik). Ke depan, The Jakarta Post harus berpikir dua kali sebelum meloloskan suatu artikel untuk dimuat dalam harian mereka. Jika "kecolongan" ini terjadi berulang-ulang, niscaya para pembaca akan berpindah kepada harian kompetitor The Jakarta Post (misalnya, hmm.... The Jakarta Globe?). Di samping itu, tatabahasa (grammar) Inggris patut menjadi sorotan. Pasalnya, di tempat saya tinggal kini, seorang pastor Filipino yang fasih berbahasa Inggris berkali-kali menemukan kesalahan tatabahasa pada sejumlah berita The Jakarta Post, bahkan pada judul berita tersebut (!). Beliau pun membawakan potongan berita yang dimaksud pada kelas Bahasa Inggris agar kami dapat mengoreksi kesalahan gramatikal yang dibuat para reporter dan lolos dari perhatian para editor JP. ======================================= Reportase/artikel terkait sebelumnya (mulai dari yang pertama): Professor (Indonesia) Memalukan? Profesor Plagiator: Maling Teriak Maling Prof. Banyu Perwita: Keluar atau Lanjut? Prof. Banyu Perwita: Plagiat ini Bukan yang Pertama! Prof. Anak Agung Banyu Perwita: “It is not an Unintentionally Mistake Professor!” Memberantas Plagiarisme; Menghargai (Prof.) Anak Agung Banyu Perwita Mantan Mendiknas, Prof.Dr.Yahya Muhaimin (UGM) juga Plagiator?? Tak Akan Ada Pencabutan Gelar Profesor AABP di Unpar?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun