Ada begitu banyak lagu, puisi, prosa, dan drama tentang cinta antardua kekasih, namun tampaknya tidak banyak pujangga yang menulis perihal esensi sahabat dan persahabatan. Padahal, kata orang, cinta seorang sahabat lebih penting daripada cinta seorang pacar. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya,” kalam Yesus. Demikianlah, kita mengenal mantan pacar, tetapi agaknya aneh bila kita menyebut seseorang “mantan sahabat”, bukan? Kalau begitu, benarkah bahwa persahabatan dengan sendirinya senantiasa kekal? Jika ya, bukankah ia lantas sama saja dengan geng dalam mana orang-orang bersahabat atas nama solidaritas melawan musuh? Atau, sesungguhnya adakah “pihak ketiga” di balik suatu persahabatan? Syukurlah, Platon (Πλάτων) termasuk satu dari para “pujangga” yang sedikit itu. Di tengah banalnya syair-syair lagu cinta kacangan yang mendayu-melayu dalam industri musik dan film negeri ini serta piciknya motivasi geng remaja yang berjibaku atas nama solidaritas, kita akan menemukan suatu oase di mana gairah intelektual terpacu manakala kita larut membaca dialog Platon yang berjudul
Lysis (Λύσις) ini. Sahabat dan persahabatan, itulah yang hendak diperikan Platon dengan “meminjam lidah” sang Guru, Sokrates (Σωκράτης). Dan, berbeda dari sang Murid, Aristoteles (Άριστοτέλης), yang menuliskan gagasannya dengan sistematis dan cenderung kering, Platon mengantar kita melalui jalan yang kelang-kelok, meloncat dari satu argumen ke argumen lain. Ia bahkan memerikan bagaimana Sokrates mementahkan kembali sebagian argumen yang telah dibangun dengan susah payah bersama sang mitra utama dialog, Lysis. Tidak ketinggalan, dilukiskan pula kepiawaian Sokrates bermain dialektika eristik dengan sahabat Lysis, Menexenos (
Μενέξενος), semata-mata untuk menunjukkan bahwa metode “menolak sebuah argumen demi penolakan itu sendiri” itu tidak akan pernah meraih Kebenaran sejati.
KEMBALI KE ARTIKEL