Kenapa pas ? Ya ini sebagai konsekuensi atas sikap Fraksi Demokrat (FD) DPR RI yang tinggal gelanggang colong playu...atau walk out (WO) saat voting dalam paripurna pengesahan RUU pemilihan kepala daerah oleh DPRD menjadi UU. Ending yang mengecewakan serta menyakiti hati rakyat pro demokrasi dan ujungnya menimbulkan ontran-ontran politik.
Bagaimana rakyat tidak kecewa, jengkel, PD yang selama ini sangat pro demokrasi dan akan mempertahankan Pilkada langsung sebagai representrasi Pilkada yang demokratis tiba-tiba balik kanan. PD melalui FD di DPR RI justru memutilasi kedaulaatan. Padahal Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden atau Keua Umum PD sebelumnya menegaskan komitmennya untuk mempertahankan pemilihan kepala daerah secara langsung. Sinisme terhadap penegasan SBY menyeruak ke permukaan. "Ah itu itu cuma omong doang (omdo), speak doang spedo.
Reaksi serta merta dating secara bergelombang, caci maki, hujatan, hinaan tiada henti mengarah ke PD dan terutama SBY yang dianggap paling bertanggung jawab atas WO FD yang berujung disahkannya RUU Pilkada tidak langsung menjadi UU. Gelombang caci maki sebagai pelampiasan atas kekecewaan terhadap sikap FD dan merupakan puncak dari akumulasi kekecewaan kepada SBY dan PD.
Adilkah caci maki itu ? Rasanya kurang adil juga menimpakan semua kekesalan politik kepada SBY. Tentu ada juga aspek positif kehadiran Demokrat. Demikian pula kendati tidak memuaskan rakyat banyak pasti ada torehan prestasi yang dilakukan SBY selama 10 tahun menjabat Presiden NKRI. Prestasinya pasti ada, mustahil kalau tidak ada torehan prestasinya. Akan tetapi sebaliknya juga wajar apabila rakyat mempunyai sudut pandang sendiri terhadap kinerja SBY baik sebagai Presiden mau pun Ketua Umum DPP PD.
Sebagian masyarakat tidak pernah akan lupa akan janji Presiden SBY yang berjanji akan menyelesaikan ksaus pelanggaran HAM berat 1998 yang telah menelan 17 orang aktivis pro demokrasi. Akan tetapi sampai menjelang akhis masa jabatannya berakhir yang tinggal menghitung hai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi 16 tahun silam tidak terselesaikan. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya bahkan sudah dilupakan.
SBY juga dianggap lemah karena sebagai pemimpin sebuah partai berkuasa dinilai tidak berdaya mengendalikan elite PD yang menjadi menteri dan legislator sehingga banyak diantara mereka yang terlibat kasus korupsi. Satu hal yang tidak kalah mengecewakan adalah ketika pemerintahan SBY memberikan dana talangan kepada perusahaan milik Aburizal Bakrie untuk memberi ganti kerugian kepada korban lumpur Sidoarjo. Dana talangan melalui APBN tidak tanggung-tanggung. Pemerintahan SBY sudah mengelontorkan dana talangan yang jumlahnya mencapai hampir 7 triliun !
Kembali pada drama WO FD dari sidang paripurna DPR RI, beberapa kali SBY mengungkapkan kekecewaannya, bahkan menegaskan akan melakukan langkah politik, tapi rakyat sudah terlanjur apriori. "Saya kecewa dan akan ambil langkah politik,' demikian kira-kira penegasan Bapak Presiden kita. Melalui youtube 14 September 2014, Presiden menegaskan kembali akan mempertahankan Pilkada langsung. Iya Pak, boleh-boleh saja ngomong begitu tapi masalahnya sebagian besar rakyat sudah kehilangan kepercayaan. Pasalnya penegasan itu hanya seolah - olah karena pada kenyataannya sikap FD bertolak belakang dengan penegasan pemimpin partainya yakni melakukan WO pada saat-saat terakhir sebelum Pimpinan Sidang Paripurna DPR RI menggedok palu disahkannya RUU Pilkada menjadi UU. Maka wajar kiranya apabila gelombang caci maki , hinaan, kemarahan mengarah ke SBY. Ketum PD dianggap dianggap tidak berdaya mengenadilikan anak buahnya sehingga FD melakukan WO. Bahkan SBY dianggap sebagai "dalang" dari ontran-ontran politik di Indonesaia saat ini .
Atau keputusan FD untuk WO itu memang merupakan bagian dari sebuah sekenario besar operasi senyap untuk mengganggu pemerintahan baru (?). Atau pula akan digunakan sebagai alat untuk membangun pencitraan. Beredar rumor bahwa sikap WO FD itu memang merupakan instruksi SBY kepada Ketua FD Nurhayati Asegaff melalui. Ruhut Sitompul dan Ramadhan Pohan yang mengklarifikasi rumor tersebut kepada Max Sopacua salah satu Ketua DPP menyatakan bahwa WO FD pada saat genting itu memang atas instruksi SBY. Kalau benar kasihan Nurhayati karena ia dikorbankan untuk sebuah sekrenario. Apa pun penjelasan SBY tidak mampu meredam kekecewaan dan kemarahan rakyat pro demokrasi.
Gelombang caci maki di media sosial kepada SBY yang tinggal menghitung hari akan lengser sebagai Presiden NKRI sungguh luar biasa. Brutal tapi juga fenomenal. Untuk ukuran orang timur, terlebih bangsa Indonesia yang konon dikenal memiliki sopan santun, beretika, ramah dan murah senyum. Hinaan dan kecaman dengan kata-kata kotor terhadap SBY belum pernah menimpa para pendahulunya, bahkan kepada almarhum Presiden Soeharto yang otoriter sekali pun..
Salah satu contoh di medsos FB adalah foto setengah badan yang merupakan foto resmi SBY sebagai Presiden NKRI yang dilumuri kotoran manusia. Sepertinya tidak ada lagi etika dan kesantunan orang Timur. Namun si pengunggah gambar tersebut mungkin geram dan tidak dapat menenerima sikap SBY dan FD yang dinilai menghiananti rakyat.
"Kita semua muak dengan kemunafikan rezim SBY bersama keluarga dan kroni-kroninya. Kita muak dengan persekutuan senyapnya dengan Prbabowo Subianto, Amin Rais, Aburizal Bakrie, Annis Mata dan semua Koalisi Merah Putih, " kata para pendemo warga Indonesia di AS yang berdemo di depan hotel tempat menginap SBY.
Drama di gedung DPR ini, menurut Aria salah seorang poltisisi PDIP perlu diketahu siapa sutradaranya. Apakah pimpinan Fraksi, pemerintah atau Sekjen Demokrat yang ada di situ (maksudnya di gedung DPR) atau Pak SBY sendiri. Di luar negeri pun SBY dan PD yang berimbas disahkannya UU Pilkada tidak langsung itu menjadi trending topic di dunia maya.
SBY yang identik dengan PD dan sebaliknya dianggap orang paling bertanggung jawab atas perampokan hak-hak kedaulatan rakyat. Partai pendukung Pilkada langsung, PDIP-PKB-Hanura dan PKPI harus menelan pil pahit, kalah suara dari Koalisi Merah Putih, dengan 135 suara lawan 226 suara. Sedang FD sebagai partai penguasa yang memiliki 124 suara memilih netral dan WO.
Gelagat adanya sekrenario WO sebenarnya sudah terbaca. Sebelum bertolak keluar negeri SBY menegaskan akan mempertahankan Pilkada langsung. Akan tetapi penegasan tersebut tidak segera direspon oleh petinggi PD. Baru 3 hari kemudian, 17 September 2014 Sekjen PD Edhie Baskoro Yudhoyono menegaskan sikap PD untuk mendukung Pilkada langsung. Tapi pernyataan Sekjen PD itu hanya angin surga. Pimpinan PD tampaknya hanhya setengah hbati mendukung Pilkada langsung dn itu sudh terbukti.
Apakah ini yang dimaksud sebagai sebagai partai penyeimbang. Nah sikap FD yang melakukan WO inilah yang kemudian memunculkan pengertian yang dimaksud penyeimbang identik dengan sikap ambigu kalau terlalu kasar untuk disebut bunglon. Sebuah sikap monumental yang merusak demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia. Dari rangkaian perisiwa politik ini orang kemudian teringat kunjungan pribadi SBY ke rumah Amin Rais di Yogyakarta beberapa waktu lalu. Ada apa ..?
Bahwa SBY mengatakan akan melakukan gugatan kepada MK dan bersumpah akan memperjuangkan Pilkada langsung meskipun sudah tidak lagi menjadi Presiden. Banyak orang tertawa menyimak pernyatan SBY ini. Lha masih menjabat hanya spedo (speak doing) apalagi setelah tidak menjabat. Bahkan ketika Presiden SBY menegaskan akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) untuk menganulir UU Pilkada rakyat tetap apriori. Akankan ontran-ontran politik yang berawal dari sikap ambigu PD merupakan pertanda bahwa Partai Demokrat sudah sampai ke ujung sandyakala ......(hindharyoen nts, jurnalis)