Major label vs indie label. Benturan kedua pihak ini sungguh menjadi issue fenomenal yang mewarnai industri musik tanah air di era 90an, baik itu dipandang dari segi jangkauan distribusi maupun adu kapital. Sempat ada stigma negatif bahwa rata-rata major label cuma berani bermain dalam tataran "mainstream" yang ditafsirkan sebagai "pelayan" pasar musik mayoritas, sedangkan musisi yang bermain di indie label dianggap lebih prestisius karena kesannya masih idealis dan secara komunitas lebih eksklusif ( baca : tidak pasaran ).
Kini polemik mengenai ukuran gengsi artis indie masuk major label tidak begitu kencang lagi bergaung. Namun sebaliknya, bila ada musisi yang berani hengkang dari major label yang selama ini menaunginya, nach rasanya pantas bila dibuatkan catatan tersendiri. Ada beberapa alasan yang mirip dengan dalih pegawai berhenti bekerja di suatu perusahaan, mulai dari : ingin merintis usaha sendiri, karir mentok, atau merasa "dianaktirikan" karena harus berebut perhatian dengan artis lain.
Memasuki era digital yang tak bisa dihindari lagi, kerjasama label dengan berbagai pihak secara global tak bisa dipungkiri bisa menjadi jembatan guna menjangkau pasar yang lebih luas. Semisal dengan situs YouTube sebagai media promo (premiere) videoklip, via jaringan Google+ guna menghimpun fanbase yang loyal, sampai lewat jualan singel di iTunes. Label kini "dipaksa" survive dengan memanfaatkan channel pemasaran apapun yang bisa digarap.
Kiranya label lokal mesti bisa bersinergi dengan banyak promotor konser yang belakangan ini tengah menjamur mendatangkan artis mancanegara. Kesuksesan konser Noah yang berhasil mendatangkan massa penonton yang berani membayar mahal untuk menyaksikan penampilan musisi kesayangannya tersebut bisa menjadi pelajaran kemana posisi label rekaman harus mengambil peran.