Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

"Ayah...Kapan Tanganku Tumbuh Kembali?"

11 Juni 2010   15:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:36 1078 0
Pagi tadi suamiku sambil bersiap-siap ke kantor, cerita kalau dia dapat sms dari salah seorang temannya, yang mendorongku untuk menuliskannya kembali disini. Ceritanya ada seorang ayah sedang mencuci mobil barunya dan melapnya sehingga semakin kelihatan kilap mobilnya. Tanpa disangka-sangka mobil baru itu dicoret-coret oleh anaknya yang baru berumur lima tahun dan baru bisa baca tulis. Sontak marahlah ia tak tertahankan ketika melihat anaknya sudah meninggalkan goresan di cat mobil. Dia pukul anaknya sekeras-kerasnya berulang kali untuk melampiaskan kekesalannya karena mobil baru miliknya sudah tidak terlihat mulus catnya. Bahkan tangisan kesakitan anaknya pun tidak ia hiraukan, malah membuat dirinya semakin bernafsu memukuli anaknya terutama tangan mungilnya yang sudah berulah itu. Dirinya baru berhenti memukul setelah menyadari bahwa meski anaknya dia pukul berkali-kali toh tidak akan mengembalikan wujud cat mobil seperti sedia kala, tanpa goresan. Tapi sayang, sang ayah sudah terlambat menyadari hal ini karena ia mendapati anaknya mengalami luka parah...kedua tangannya patah. Dengan sangat menyesal dia bawa anaknya ke rumah sakit dan oleh dokter, anaknya dinyatakan harus diamputasi karena tangannya bukan cuma patah tapi juga remuk. Semakin menyesal diri sang ayah apalagi ketika anaknya sadar pasca operasi dan mendapati kedua tangannya sudah tidak ada, bertanya padanya, "Ayah, kapan kedua tanganku akan tumbuh kembali?"....Oh tak kuasa ia menjawab pertanyaan polos anaknya. Ini membuatnya gusar terhadap mobil baru yang dianggapnya sumber dari musibah yang menimpa anaknya. Ia bertekad untuk menghancurkannya karena gara-gara mobil itulah ia jadi lupa diri telah menganiaya anaknya sendiri. Ketika sang Ayah hendak melaksanakan niatnya, tubuhnya mendadak lunglai dan menangis tersedu-sedu di samping mobil yang hendak dihancurkannya setelah ia membaca tulisan anaknya yang berwujud coretan tak jelas. Di situ tertulis AKU SAYANG AYAH....

Cerita di atas bukanlah kisah nyata tapi ada hikmah yang ingin disampaikan dalam cerita tersebut, bahwa kadangkala atau bahkan kerap kita tidak berupaya memahami anak-anak, apa yang ingin mereka sampaikan kepada kita, serta bagaimana cara mereka mengungkapkannya. Tapi kita sering menghakimi mereka terlebih dahulu dengan ekspresi marah dan tidak suka kita ketika kita merasa ulah mereka telah mengganggu kesibukan orangtuanya. Mungkin kita lebih dulu marah ketika anak batita kita rewel dengan rengekannya yang tak jelas. Tapi kemudian diam setelah kita beri perhatian dan mau mendengarkan bait kata-kata yang mereka luncurkan. Kita juga mungkin lebih sering marah ketika anak-anak bermain di rumah dan menciptakan ruangan bak kapal pecah tanpa kita fahami bahwa yang mereka inginkan adalah ruang untuk merasa nyaman menuangkan imaginasi dan impian kanak-kanak mereka. Rasa kesal dan bayangan betapa lelahnya membereskan itu semua telah menutup penglihatan kita akan keceriaan dan kepercayaan diri mereka dalam mengekspresikan lakon imaginatif pilihan mereka.

Begitulah anak-anak dengan nalar mereka yang masih terbatas, kadangkala tidak kita fahami pesan apa yang ingin mereka sampaikan lewat semua tingkah laku mereka atau kita malah terlanjur menanggapinya sebagai pihak yang melakukan kesalahan dan pantas mendapat hukuman. Seperti cerita di atas, sang anak dengan kesederhanaan nalar yang dia miliki berupaya mengungkapkan perasaan sayangnya terhadap ayah.  Dan ia tidak akan pernah mengira bahwa caranya tersebut tidak diterima ayahnya secara bijak dan positif.

Meski kita para orang tua dulu juga adalah anak-anak tapi itu tidak cukup membuat para orang tua mampu memahami anak-anak mereka dengan baik. Mungkin hanya segelintir orang tua yang dapat memahami anaknya dengan baik, bahkan bisa menjadi sahabat bagi mereka. Tapi ada satu hal yang mestinya bisa dimiliki oleh setiap orang tua, dan itu merupakan fitrah yang diberikan sang Maha Pencipta di dunia ini kepada manusia, yaitu rasa sayang. Maka sayangilah anak-anak kita. Sudah selayaknya orang tua lebih menyayangi anak-anaknya dibandingkan persoalan keduniawian yang sifatnya hanya sementara ini. Di samping agama pun mengajarkannya. Dengan demikian ia akan berupaya memahami bahasa dan perilaku anaknya, untuk kemudian mengarahkan dan mengajari mereka dalam memilih bahasa dan cara mengekspresikannya seiring pertumbuhan mereka.

Tulisan ini juga dapat anda baca di blog saya, ummuaysyahumairo.wordpress.com
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun