Baju Hujan
By: Hilya
*
Hujan sudah reda saat Nini sampai di panti asuhan. Sisa-sisa rintik dan jalanan yang basah kuyup menjadi saksi jika beberapa saat yang lalu memang telah turun hujan yang lebat.
Nini menutup payung kecilnya. Payung kecil itu dia berdirikan menyender pada dinding dengan gagangnya yang berada di atas. Nanti Bunda yang akan membantu Nini menyimpan payungnya.
Baju Nini sedikit basah, terutama sepatu dan celananya. Payung kecil miliknya tidak cukup untuk menghalau hujan. Padahal Nini sudah menunggu cukup lama hingga saat dia pulang hujan tidak terlalu deras. Tapi, ternyata usaha Nini masih belum cukup untuk membuat anak itu pulang tanpa kebasahan.
"Bunaaa! Nini puyang!"
Nini melepaskan sepatu dan kaos kakinya. Dia berjalan masuk sambil menenteng sepatu yang di dalamnya sudah ada kaos kaki basah.
Panti asuhan masih sepi. Anak-anak lain sudah berada di jenjang SD, jadi tinggal Nini sendiri yang masih TK. Saat Nini sudah selesai dengan kelasnya, anak lain masih harus belajar.
"Bunaaa! Bunaaa!" panggil Nini. "Bunaa mana, ya?" Saat tidak juga mendapat sahutan, anak itu mulai kebingungan.
"Bunaa pelgi pacal, ya?" Anak itu mulai membuat hipotesis sendiri.
Biasanya kalau tidak ada di panti asuhan, berarti Bunda pergi membeli keperluan. Dan Nini tahunya barang-barang apa saja dapat dibeli di pasar.
Yah, kalau Nini sudah besar dan paham, dia pasti tahu kalau Bunda tidak mungkin pergi jauh tanpa mengunci pintu.
Nini menaruh sepatunya di tempat pencucian. Bunda bilang, kalau sepatu Nini kotor harus dicuci dulu biar besoknya bisa dipakai lagi. Seragam sekolahnya juga harus diletakkan di tempat cuci. Nini menyisakan baju dalamannya saja. Anak itu berdendang ringan, membawa tasnya menuju kamar.
Nini meletakkan tasnya dan mengambil handuk paling kecil. Dia akan mandi dulu karena tadi kehujanan, agar tidak sakit nanti.
"Yitel duck menanis! Yitel duck wek! Wek!"
Sambil mandi, Nini sibuk menyanyikan lagu tidak jelas. Tangan kecilnya menyabuni tubuh dan sesekali Nini juga akan menari. Kaki, bokong dan badannya semua ikut bergoyang dengan lagu aneh yang datang dari mulutnya sendiri.
"Ikan yenang! Ikan yenang! Yeay!" Nini memekik senang.
Badannya sudah bersih. Dia juga sudah harum. Sekarang dia hanya perlu menaruh pakaian dalamnya ke tempat cucian dan memakai baju ganti.
"Bunaaa! Bunaa ceyece pacal?" Nini tersenyum lebar ke arah Bunda. Saat dia keluar dari kamar mandi, Bunda sudah ada di depan pintu tadi.
"Bunda tidak ke pasar, kok. Nini sudah mandi?"
"No pacal?" Mata Nini membulat. Padahal dia yakin dengan tebakan buatannya sendiri tadi. "Buna dali mana?"
"Bunda ke rumah Bibi Kimy tadi. Bibi Kimy memberikan ikan, jadi nanti kita bisa makan ikan."
Nini memekik senang dengan berita yang Bunda berikan. Dia suka makan ikan pemberian Bibi Kimy, soalnya ikan dari Bibi Kimy itu sudah pasti mahal dan enak.
"Nini tadi kehujanan, ya?"
"Um. Cikit caja, kok. Nini dak puyang, ujan deyas!" Nini mau bilang kalau tadi dia menunggu sampai reda baru pulang dulu. "Nini dah didi, Buna. Nini wanii!" Dia juga pamer kalau sekarang tubuhnya sudah sangat wangi.
"Nini cepat pakai baju, gih, terus makan dulu. Sini, baju kotornya biar Bunda yang taruh."
Nini mengelak saat Bunda mau mengambil baju kotornya. "No, no, Bunaa. Nini bicaa. Ini puna Nini. Nini halus tanu jawab!"
Setelah berkata seperti itu, Nini berlari kecil menuju ruang cuci. Dia dengan raut bangga menaruh baju dalamannya tadi. Nini merasa keren karena bisa melakukan semuanya seorang diri.
Di belakang Nini, Bunda melihat apa saja yang telah anak itu lakukan. Nini memang lebih dewasa dan lebih mudah diajari daripada anak-anak lain. Kadang, Bunda juga khawatir kalau Nini terlalu memaksakan diri. Tapi, melihat Nini yang menikmati perannya juga membuat Bunda jadi bangga.
"Nini keren, deh. Kalau sudah selesai, langsung pakai baju, ya? Nanti sakit."
"Iya, Bunaa!" balas Nini. Dia sudah berjalan ke kamar untuk memakai bajunya.
Anak-anak di panti asuhan lebih banyak memakai baju lungsuran dari anak yang paling besar. Dana yang Bunda keluarkan memang dari kantong pribadi, terlebih panti asuhan mereka berada di daerah yang cukup terpencil dan jarang ada donatur. Jadi, Nini juga harus puas jika dia harus memakai baju bekas kakak-kakak senior di panti. Beruntung anak itu tidak rewel dan cenderung penurut.
Walau sekali lagi, terkadang Bunda merasa sedih karena meski baju Nini yang paling banyak di antara anak lain, baju-baju Nini jugalah yang sering tidak layak pakai.
"PaidelNiiii!" teriak Nini. Dia berlari dari kamar menuju ruang makan. Bunda sudah menyiapkan piring untuknya.
"Bunaaa, yiat! Ini PaidelNii!"
Bunda tersenyum manis ke arah Nini. Kali ini Nini memakai baju Spiderman, baju yang dulunya milik Bobby. Bobby menangis keras saat meminta baju itu tapi hanya pernah dipakai sekali. Baju itu punya robekan di punggung karena tersangkut kayu saat Bobby memanjat pohon.
Dan Nini mau memakai baju yang belakangnya dijahit oleh Bunda untuk memperbaiki robekannya. Dengan wajah sangat ceria.
"Halo, SpiderNi. Can you help Bunda today?"
Nini memasang senyuman manis. Dia menatap penuh minat ke arah Bunda. "What can PaidelNii hep?" tanyanya dengan suara ceria.
"Bunda punya ikan goreng di sini. SpiderNi bisa bantu habiskan, tidak?"
"Bicaaa!" pekik Nini senang. Dia berusaha naik ke kursi tanpa mau menerima bantuan dari Bunda. Nini sudah besar, sudah bisa semuanya sendiri.
"Nini makan dulu, ya? Bunda mau cucikan sepatu Nini dulu."
Nini mengangguk setuju.
Walau dia bisa semua, tapi untuk mencuci sepatu dia belum bisa. Nini pernah ngotot mau mencuci sepatunya sendiri, tapi malah membuat sepatu kecil itu semakin kotor. Jadilah Nini yang menurut untuk dibantu Bunda, sampai dia bisa cuci sepatu sendiri nanti.
Ikan yang Nini makan itu bukan ikan dari Bibi Kimy. Tapi Nini tetap suka. Dia suka makan ikan. Saking penuhnya mulut Nini, pipinya sudah menggembung lucu.
Nini sudah selesai makan. Dia juga sudah minum susu buatan Bunda. Tapi Bunda belum kembali juga.
"Bunaa!" panggil Nini. Dia mau menyusul Bunda di ruang cuci.
Kepala Nini bergerak-gerak mencari keberadaan Bunda. Ternyata Bunda tidak ada di sana. Sepatu Nini juga tidak ada.
"Buna? Buna mana?"
Apa Bunda sedang menjemur sepatu Nini, ya?
Nini membawa langkah kecilnya menuju halaman belakang. Benar, Bunda di sana.
"Bunaa! Nini cayii!"
Bunda menoleh, tersenyum manis pada Nini. Tangannya mengusap lembut kepala anak itu. "Nini sudah selesai makannya?"
"Um. Cudah."
"Susunya sudah diminum?"
"Cudaa!" jawab Nini dengan suara manja.
"Nini mau belajar atau mau main?" Bunda bertanya lagi.
Nini terlihat berpikir. Mata anak itu bergerak. Maniknya terhenti pada plastik putih yang dilipat di gantungan baju.
Oh, Nini ingat plastik itu. Itu plastik yang membungkus kado ulang tahun milik Maelin.
Walau secara kecil-kecilan, setiap anak di panti asuhan akan dibuatkan pesta ulang tahun. Dan beberapa minggu yang lalu Maelin merayakannya. Dia menerima hadiah dari Bunda yang dibungkus dengan plastik lebar berwarna putih.
"Bunaa! Nini au tuu!" Nini menunjuk plastik bekas bungkus kado tadi. Dia punya ide bagus.
"Nini mau mainin plastik ini?" Bunda mencoba bertanya, takut jika salah paham.
Tapi Nini mengangguk sangat yakin. "Boyeh, ya, Buna?" bujuknya.
Bunda terkekeh melihat wajah Nini yang berusaha membujuk. Dia mengambilkan plastik itu dan diberikan pada Nini yang langsung berlari kesenangan masuk ke rumah. Sikap Nini membuat Bunda jadi penasaran. "Dia mau buat apa, ya?"
*
Nini memakai plastik tadi di kepalanya. Plastik yang lebih besr darinya itu seperti memeluk Nini dari belakang.
"Benal! Pelti ini!" pekik Nini senang dengan pikirannya sendiri.
Nini berlari, mencari pita yang sering dia mainkan. Pita yang Nini temukan di taman dan kemudian dia cuci hingga menjadi salah satu koleksi mainan berharganya.
Nini kembali ke ruang tengah. Kembali memakai plastik tadi di kepala, kali ini Nini berusaha mengikat bagian leher dengan pita.
"Huh! Cucah!" Anak itu mendengkus kesal. Tapi tidak ada tanda-tanda mau menyerah.
Selama Nini berusaha keras, Bunda ikut masuk ke rumah. Melihat anak asuhnya yang sibuk dengan pekerjaannya sendiri, Bunda jadi semakin penasaran.
"Nini sedang apa?"
"Buat baju ujan," jawab Nini dengan raut polos.
Bunda mengernyit bingung. "Baju ujan?"
"Um! Una puna baju ujan, Buna! Una puyang, ujan deyas!" Nini berusaha menjelaskan sebisanya. Dia mau bilang kalau tadi temannya, Arjuna tidak harus menunggu hujan reda karena punya jas hujan. "Nini buat baju ujan!" Dengan wajah bangga dia bercerita.
Mendengar penuturan Nini, Bunda merasa sedih. Padahal Bunda pikir dengan membelikan payung bagi anak-anak akan cukup. Tapi, ternyata anak-anak tetaplah anak-anak.
Nini punya keinginannya sendiri. Nini tidak meminta ataupun memaksa, tapi Bunda jelas merasa sangat sedih dengan kondisinya.
"Buna! Buna no cedih! Nini no baju ujan!" Melihat tatapan berkaca Bunda, Nini jadi merasa bersalah. Nini tidak mau membuat Bunda menangis.
Nini berlari untuk memeluk Bunda. Sekarang malah dia yang menangis. Dia tidak mau Bunda sedih karena keinginannya.
"Bunda tidak sedih, Nini. Kenapa Nini menangis?"
"Nini buat Bunda cedih."
Bunda menepuk-nepuk punggung Nini perlahan. "Kan Bunda tidak sedih. Tadi sudah bilang, 'kan?"
Nini menggeleng.
"Jangan menangis. Nini mau Bunda bantu buat baju hujan?"
"Um!"
Nini mengangguk setuju.
Tentu saja, membuat jas hujan dengan alat seadanya itu tidak mudah. Tapi, jika Bunda membelikan apa yang Nini inginkan sekarang, bisa jadi anak-anak lain akan iri.
Setelah usaha yang menguras pikiran, Bunda menatap Nini yang terlihat bangga dengan jas hujan ala kadar buatannya. Terlebih saat mereka selesai bekerja, hujan turun perlahan.
Nini menatap hujan di luar dengan mata membulat lucu.
"Buna! Nini main ail, ya?" Nini mau main hujan dengan baju hujan yang dia buat bersama Bunda. Tapi, kalau Bunda melarang dia tidak akan memaksa, kok.
"Boleh. Tapi kalau deras langsung masuk, ya?"
"Oteee!" balas Nini ceria. Anak itu segera berlari ke halaman depan dan berputar dengan senang.
Baju hujan Nini mungkin terlihat jelek dan murahan, tapi rasa bahagia yang terpancar di wajah anak itu sungguh tidak terkira nilainya. Nini sangat senang.
*
Bangsri, 9 Oktober 2023.