Mungkin karena terlalu merasa bersalah dengan pertumbuhanku yang tidak memiliki sosok pahlawan dalam hidup, ibu tidak banyak menuntut. Ibu membiarkanku banyak bermain, tidak marah saat ada warna merah dalam hasil ujianku dan ibu masihlah satu-satunya tempat paling nyaman untukku berkeluh kesah.
Pernah suatu kali aku bertanya, "Apa Ibu tidak malu punya anak seperti Mar? Mar tidak bisa juara satu di kelas, Mar juga pernah mengulang kelas. Selain itu, Mar juga membuat Ibu sering dipanggil ke sekolah."
Lalu, jawaban yang kuterima diiringi dengan usapan lembut di rambut itu membuatku semakin yakin, ibulah satu-satunya duniaku. "Apa Mar tidak malu punya ibu seperti Ibu? Ibu tidak sekolah. Ibu tidak pintar. Ibu juga tidak paham saat Mar mau bertanya mengenai materi di sekolah. Ibu tidak bisa memberikan Mar dukungan berupa materi. Jadi, kenapa Ibu harus menuntut lebih saat Ibu sendiri tidak lebih baik?"
Meskipun Ibu merendahkan dirinya sendiri untuk membuatku merasa lebih baik, aku tidak pernah menyesal memiliki Ibu sebagai ibuku. Ibu selalu mendukungku sebanyak yang dia bisa. Ibu bekerja tanpa dukungan dari kerabat. Bahkan keluarga ayah yang terkenal kaya dan berpendidikan tinggi pun tidak pernah mau mengulurkan tangan mereka pada kami.
Setelah percakapan itu, aku berusaha lebih keras untuk belajar. Aku menghapus satu per satu angka merah di raport. Aku memperbaiki sikap dan perlahan naik ke atas. Dari siswa paling terakhir, kini aku sudah berada di tengah-tengah.
"Kalau capek jangan dipaksakan, ya? Ibu tahu kamu bisa, tapi Ibu berharap kamu menikmati semua prosesnya dibanding mengharapkan hasil yang baik."
"Mar melakukannya karena suka. Mar pasti akan membayar keringat Ibu dengan prestasi Mar nantinya." Walau Ibu tidak pernah menuntutku untuk menjadi apa atau siapa, aku tetap bertekad kuat untuk memberikan tempat terbaik untuknya. Tempat yang membuat ibuku tidak lagi dipandang sebelah mata hanya karena tidak menyicipi bangku sekolah.
Hingga suatu sore di akhir ujian yang aku jalani, Ibu berucap di tengah kegiatannya menjahit, "Bisa nggak ya, Mar, hasil semester ini kamu masuk sepuluh besar?"
Semester kemarin aku menduduki peringkat sebelas dari dua puluh tiga siswa. Sebuah peningkatan signifikan di mana awalnya aku adalah pemilik peringkat paling akhir. Aku tidak bisa memberikan jawaban yang pasti karena sepuluh besar di kelasku belum pernah berubah sejak awal semester. Ibu pun tidak bertanya lebih jauh lagi.
Hari berganti hari hingga saatnya pengambilan raport. Seharusnya Ibu yang datang, tapi seperti biasa aku yang akan mengambilnya sendiri. Wali kelas membacakan hasil belajar siswa satu per satu, dari peringkat kelima hingga peringkat pertama.
"Marisa Andrasena peringkat ketiga."
Deg!
Jantungku seperti berhenti berdetak untuk sesaat. Seolah-olah waktu tidak lagi berjalan, aku hanya bisa terdiam sambil mencoba percaya bahwa apa yang kudengarkan adalah kenyataan. Karena Ibu tidak bisa hadir, aku menunggu giliran paling akhir untuk mendapatkan raportku.
"Selamat, ya, Marisa. Pertahankan terus hasil belajar kamu, kalau bisa malah naik jadi juara satu. Mengerti?"
"Iya, Bu. Terima kasih."
Aku berlari cepat setelah keluar dari area sekolah. Kali ini kakiku seperti mendapat banyak kekuatan untuk segera menemui Ibu.
"Bu, Mar dapat peringkat tiga. Mar masuk sepuluh besar, Bu!"
Aku terduduk di depan nisan yang telah menjadi tempat tidur abadi untuk Ibu. Ibu menghabiskan banyak waktu untuk mendukung kekuranganku, tapi dia tidak dapat menunggu sedikit lebih lama untuk membanggakanku pada keluarga yang membuangnya.