Di seberang jalan Bu Kalsum terlongong-longong bengong, putra semata wayangnya, belum juga kembali pulang ke rumah, setelah mengikuti kegiatan mendaki gunung bersama teman-temannya di kampus.
Sejenak Bu Kalsum tepekur "semoga tidak terjadi apa-apa denganmu, Nak!" batinnya seraya menarik napas panjang. Dari kelopak matanya keluar dan menitik beberapa bulir-jernihan air yang turun ke pipinya.
Suara guntur yang cukup keras, disertai angin kencang dan kilatan petir, membuat warga enggan keluar dari rumah, begitupun para bocah yang berada di dalam surau. Bu Kalsum memilih tidak beranjak dari beranda rumah, ia tetap menanti anaknya.
Kini, hujan jatuh dengan deras memukuli tanah, menghantam atap rumah dan sesekali suara guntur menyela derasnya hujan. Dan, Suara pengajian pun terdengar nyaring saling bersahutan dari menara masjid maupun surau, pertanda menjelang waktu magrib.
Bu Kalsum semakin gelisah, lantaran ponsel anaknya tidak aktif, berbagai upaya yang dilakukannya namun tidak membuahkan hasil. Rasa takut mulai menjalari dirinya, setelah ia membayangkan hal-hal buruk menimpah anaknya.
Berawal dari kegiatan di kampus, kemudian mereka menyepakati untuk mendaki gunung pada malam minggu, sehingga Farhan hanya mengabari kepada ibunya, bahwa pada sore hari dia kembali ke rumah. Namun, hingga menjelang malam, Farhan tak kunjung pulang, membuat ibunya merasa khawatir.
Sebetulnya, Bu Kalsum merasa keberatan jika Farhan mengikuti teman-temannya, mendaki gunung. Karena, minggu lalu dia baru sembuh dari sakitnya. Namun Farhan meyakinkan ibunya, sehingga ia pun mendapat izin untuk pergi ke puncak gunung bersama teman-temannya "Jangan khawatir Bu! Kami hanya ingin menyaksikan pemandangan malam hari yang indah dari puncak gunung," ujarnya dibalik telepon saat hendak mencapai puncak gunung.
Farhan merupakan anak satu-satunya Bu Kalsum, suaminya bernama Hidayat menghilang entah kemana, dikala anaknya itu baru berumur lima bulan. Ketika itu, sang suami berpamitan hendak mencari pekerjaan di kota. Namun, hingga Farhan beranjak dewasa, suaminya tak kunjung pulang dan menurut informasi yang diperoleh dari kerabatnya, suami Bu Kalsum telah menikah dengan salah seorang janda dan menetap di kota.
Walaupun hidup tanpa sang suami dan berkali-kali didatangi para lelaki untuk meminangnya, namun Bu Kalsum tetap menolak, dia merasa trauma, dan tak ingin menikah lagi. "maaf, aku tidak ingin dihianati yang kedua kalinya, walaupun aku tahu banyak lelaki yang menaruh rasa simpati terhadapku," kata Bu Kalsum pada suatu kesempatan ketika diminta menikah lagi oleh Bu Lastri istri kepala desa.
***
Usai sholat magrib hujan tak kunjung reda, tetap deras, air sungai juga meluap, sehingga terjadi banjir. Di tengah kepanikan warga, Bu Kalsum gelisah! Seperti sedang duduk di atas perapian.
Dia merasa khawatir atas keselamatan anaknya, karena hari sudah malam, Farhan tak kunjung pulang, tiap mendengar bunyi kendaraan di jalan raya, Bu Kalsum mencongak memastikan, lalu kembali tertegun dibalik jendela.
Karena jarum jam sudah menunjukkan pukul dua puluh, perasaan gelisah dan rasa takut terus merayapi pikirannya, dia pun memberitahu kepada Pak Kades Muhidin dan meminta bantuan warga untuk mencari informasi tentang keberadaan putranya tersebut. Seusai sholat Isya, pak kades mengumumkan kepada warga melalui pengeras suara di masjid.
Dan warga pun mulai mendatangi rumah Bu Kalsum menanyakan perihal informasi yang disampaikan pak kades tersebut. "Bu Kalsum! Apa benar Farhan belum pulang?" Tanya salah seorang warga kepada Bu Kalsum, "Iya! Sahut Pak Kades yang baru tiba di rumah Bu Kalsum. "gimana kalau besok kita mencari Farhan dan teman-temannya?" usul Pak Kades. "iya betul, besok harus mencari mereka," jawab warga kompak.
***
Hingga sore hari pencarian warga tak membuahkan hasil, jalan utama yang biasanya dilalui para pendaki, longsor sehingga menyulitkan warga untuk mencapai pos pertama pendakian. Dan warga pun memilih kembali pulang agar esok hari mereka kembali menyisir hutan untuk mencari keberadaan Farhan, dan teman-temannya.
Namun, di tengah perjalanan pulang salah seorang warga mendapat informasi bahwa Farhan dan teman-temannya kini berada di rumah sakit. Mereka diselamatkan warga di kampung tetangga ketika kembali pulang dan mereka ditabrak sebuah mobil mewah ketika mereka hendak menyebrang jalan. Dan, rupanya dari kelima anak muda yang tertabrak, hanya Farhan yang mengalami luka serius hingga tak sadarkan diri.
Sejak sore hari, memang Bu Kalsum merasa gelisa, sebab ikatan batin antara ibu dan anak telah terjalin begitu kuat, sehingga apapun yang menimpah seorang anak pasti dirasakan oleh seorang ibu. Dan, yang dikhawatirkan Bu Kalsum ternyata benar terjadi, anak semata wayangnya mendapat musibah.
Bagaikan petir menyambar, hujan gelap dan halilintar yang dahsyat, ketika mendengar informasi itu, kabar yang memilukan itu dijelas-terangkan oleh Pak Kades, setelah mendapat informasi dari warga di kampung tetangga.
***
Dalam perjalanan ke rumah sakit, Bu Kalsum merenung dalam, menenangkan diri, walaupun tahu benar rasa takut dan khawatir itu membalut erat. Tidak!, pekik Bu Kalsum dalam hati membayangkan hal-hal buruk pada Farhan, karena sebelumnya, anak tetangganya bernama Sandra pun mengalami hal serupa, dan setelah dirawat selama seminggu pada ruang unit gawat darurat, namun nyawanya tak tertolong. "Ya Allah, lindungilah anakku, berilah ketabahan kepadaku untuk menghadapi kejadian ini," gumamnya.
Saat hendak mencapai rumah sakit, Bu Kalsum tak mampu menyembunyikan kesedihannya, matanya mulai berkaca-kaca dan sesekali tatapannya ke arah depan mobil, lalu merunduk membayangkan kecelakaan yang menimpah anak semata wayangnya itu, seperti diceritakan Pak Kades kepadanya. "Ayo! Semuanya pakai masker ya! Kita sudah berada di depan rumah sakit," kata pak kades. "kalau tidak pakai masker nanti kita dilarang masuk, sebab sekarang masih masa pandemi," sambung istrinya.
"Maaf! Ibu-ibu dan Bapak-bapak ingin membesuk pasien di ruang mana?" Tanya salah seorang perawat saat melihat Bu Kalsum berserta Pak Kades dan istri serta beberapa warga yang mendampingi Bu Kalsum menuju pada ruang Unit Gawat Darurat. "Kami ingin ke ruang IGD," jawab Bu Kalsum, seraya menyebut nama anaknya.
"Oh iya bu, tapi di sini aturannya, hanya tiga orang aja yang berkenaan masuk, sementara yang lainnya harus menunggu di luar ruangan," ujar perawat berjilbab itu, sambil meminta Bu Kalsum mengikutinya ke ruang IGD.
Pintu ruang IGD terkuak, Bu Kalsum terperangah ketika menatap Farhan di atas ranjang dengan tangah menempel selang infus. Tak bisa menyembunyikan kesedihannya, ia meraih tangan Farhan sambil sesenggukan lalu memeluknya. "Tentang kronologis musibah yang menimpa anak ibu sementara ditangani pihak berwajib, dan teman-teman Farhan sementara berada di kantor polisi, mereka dimintai keterangan perihal kejadian ini," kata si perawat yang berdiri di sisi kiri ranjang Farhan.
"Oh iya, mengenai administrasi selama berada di rumah sakit nanti, semuanya di tanggulangi oleh Bapak yang menabrak Farhan, dan semuanya sudah di tandatangani sejak Farhan di bawa masuk di ruang IGD" ujarnya seraya mengulas senyum kepada Bu Kalsum. "Dan, Bapak tersebut berjanji akan kembali ke rumah sakit setelah ia dimintai keterangan bersama teman-teman Farhan di kantor polisi."
Mendengar penjelasan perawat tentang biaya administrasi selama di rumah sakit ditanggulangi oleh orang yang menabraknya anaknya, Walaupun larut dalam kesedihan, Bu Kalsum merasa tidak terbebani dengan biaya pengobatan dan biaya selama Farhan berada di rumah sakit.
Farhan hanya bisa menatap wajah ibunya dan sesekali matanya berkaca-kaca. Dia tidak tahu sosok lelaki yang menabrak dia bersama teman-temannya. Sebab, sejak kejadian itu dia mengalami pingsan dan begitu tersadar dia sudah berada pada ranjang di ruang IGD.
Namun, setelah siuman, dia hanya mendengar percakapan dokter dan lelaki tersebut, kata lelaki yang juga merupakan salah seorang konglomerat itu bahwa karena kondisi hujan dan berangin sehingga pandangannya menjadi kabur dan tidak melihat Farhan bersama teman-temannya menyebrangi jalan.
Tabrakan pun tak terelekan. Dan, panik serta takut dihakimi warga, sehingga pria konglomerat itu pun bergegas menuju kantor polisi menyelamatkan dirinya. Sementara Farhan bersama teman-temannya dilarikan oleh warga ke rumah sakit.
Farhan hanya mengingat nama dari lelaki konglomerat itu, ketika dokter menyebut namanya saat dia hendak meminta pamit untuk kembali ke kantor polisi melengkapi administrasinya.
Namanya Hidayat, dan begitu mendengar nama pria tersebut sontak Bu Kalsum terperanjat, sebab namanya seperti suaminya. Namun, dia tidak  yakin kalau Hidayat yang disebut Farhan itu merupakan bapaknya. Sebab, Hidayat suaminya itu pergi meninggalkan mereka berdua, dua pula lima tahun silam, sejak Farhan masih berumur lima bulan.
Sebab, sejak itu pun Bu Kalsum hanya mendapati informasi bahwa suaminya itu bekerja dan tinggal di kota dan tidak kembali lagi bersama dia dan Farhan. Namun, semenjak Pak Hidayat bekerja menjadi sopir pribadi salah seorang pengusaha terkenal dan si pengusaha itu pun mengalami kecelakaan pesawat dan meninggal dunia, sehingga istrinya pun menikah dengan Pak Hidayat.
Sehingga, sejumlah perusahannya dikelolah oleh Pak Hidayat dan istrinya tersebut. Tak butuh waktu lama, perusahan yang dikelolah Pak Hidayat pun mengalami perkembangan yang pesat, hingga beberapa proyek penting di desa pun dikelolah oleh Pak Hidayat dan memaksa dia kembali ke desa, untuk memantau perkembangan proyek yang dikelolah perusahannya hingga kejadian naas menimpanya di jalan raya, dan menabrak Farhan bersama teman-temannya.
"Bu! Farhan hanya mendengar omongan pria tersebut, bahwa selain biaya pengobatan dan administrasi rumah sakit, dia berjanji akan membantu biaya perkuliahan Farhan," kata Farhan meniru ucapan Pak Hidayat kepada Dokter. Mendengar percakapan Farhan, Pak Kades dan istrinya pun senyum gembira. "Alhamdulillah, ternyata pria tersebut berhati baik," ujar Pak Kades diamini istrinya.
Namun, mereka masih penasaran dengan sosok pria pengusaha yang diceritakan tersebut, karena Farhan pun tidak mengenalnya. Sehingga, di tengah percakapan mereka tiba-tiba dokter yang menangani Farhan sejak tiba di rumah sakit, memberi salam dan melangkah masuk menanyakan kondisi kesehatan Farhan.
Begitu usai menanyakan kesehatan Farhan, karena merasa penasaran dengan sosok pria yang menabrak Farhan dan teman-temannya, sehingga Bu Kalsum pun bertanya kepada dokter tentang pria pengusaha itu.
"Maaf! Dok, siapa sih pria yang yang menabrak anak saya?
 "Dan, apakah benar dia bersedia membayar biaya pengobatan dan biaya administrasi selama anak saya berada di rumah sakit?
Mendengar pertanyaan dari Bu Kalsum, dan begitu dokter ingin menjawabnya. Namun, tiba-tiba sosok pria tersebut berdiri persis di ambang pintu dan menjawab
"iya benar! Biaya pengobatan dan administrasinya sudah saya bayar," kata Pak Hidayat.
Sontak Bu Kalsum dan semuanya pun berbalik, menatap wajahnya. Mereka terperangah menatap wajah pria yang diceritakan Farhan tadi, ternyata Pak Hidayat yang diceritakan tersebut merupakan ayahnya sendiri. Melihat bu Kalsum, Pak Hidayat pun tercengang, dan dia pun melangkah menghampiri istrinya itu dan meraih tangannya sambil berujar "Maafkan aku, Sayang! Dan mengusap kepala Farhan sambil berkata "Maafkan, Ayah ya Nak!.