Kamipun menumpang Taksi Putra bernomor pintu 9xx yang kebetulan lewat. Dari Rawamangun jalanan lumayan lancar, tetapi seperti sudah saya duga memasuki areal sekitar pasar Tanah Abang langsung seret, parah banget. Hampir saja saya mengusulkan untuk balik arah tapi tidak enak hati sama teman yang mesti mengambil pesanannya disana. Bukankah saya diajak makan gratis untuk nemenin dia bermacet ria? Jadi, sambil menahan hati saya urungkan usul yang tidak solider itu.
Mobil beringsut tersendat-sendat menjengkelkan, namun akhirnya sampai juga di depan toko yang dituju. Kawan saya dengan sigap keluar sementara taksi terpaksa terus ngesot karena tak ada tempat untuk parkir. Begitu ada tempat yang agak longgar sedikit saya meminta sang sopir meminggirkan taksinya, berhenti persis di belakang sebuah angkot yang ngetem, maksudnya untuk menunggu kawan saya, meski itu bukan tempat parkir. Dari balik kaca spion, saya lihat wajah si sopir tampak tidak nyaman, agak tegang malah.
Melihat gesture-nya yang tidak nyaman itu saya menyapa, "Pak, kalau brenti disini ditegur orang nggak ya, kan ini bukan tempat parkir..?"
"Iya, pak saya juga nggak enak nih. Tapi nanti teman Bapak kejauhan nyari kita.. Itung-itung mumpung ada angkot ngetem di depan...", jawab sang sopir taksi.
Jalanan memang tetap padat sementara angkot di depan kami seenaknya ngetem tanpa peduli kendaraan dibelakangnya perlu jalan atau tidak. Sebuah mobil patroli polisi lewat, tetapi sepertinya para polisi di dalamnya tidak mempedulikan mobil kami dan angkot yang nongkrong tidak beranjak seenak beroknya itu.
"Wah, anda termasuk sopir yang taat aturan rupanya", saya memuji. "Udah, jalan saja sampe ketemu tempat parkir. Biar saja teman saya jalan agak jauh, tambah sehat malah.." kata saya.
"Baik, pak!", jawabnya dan terlihat lega raut wajahnya.
Taksi beringsut perlahan mencoba menguak jalan hingga akhirnya tiba di depan toko sajadah yang kebetulan masih ada satu ruang untuk parkir. Sang sopir memarkir mobilnya disitu.
Terkesan dengan sikap taat aturannya, saya mencoba mengorek keterangan darinya. Saya mulai dengan menanyakan namanya dan daerah asalnya.
"Nama saya Slamet Budi Waluyo, pak, berasal dari Pemalang", jawabnya ramah.
"Kalau menurut pak Slamet, kenapa sih orang-orang itu pada tidak tertib berlalulintas, nggak patuh pada aturan?" tanya saya.
"Lha gimana ya, pak. Soalnya aparat petugasnya tidak tegas. Kalau tegas kami juga nurut kok", jawabnya.
"Lho, kok harus nunggu ditertibkan sama aparat. Kenapa nggak mulai patuh aja pada aturan biar nggak amburadul kaya sekarang. Kan kalu macet begini sampeyan juga rugi, kan..?"
"Kalau kami, sopir taksi, sih mau tertib pak. Apalagi perusahaan kami sekarang sedang mengejar "Adipura" taksi terbaik dan saingannya ada tiga, xxx, yyy, dan zzzz pak" katanya berbau promosi. "Tapi kalau angot-angkot itu sulit kalau mau tertib sendiri sedangkan yang lain tidak tertib," lanjutnya.
"Kalu ada gerakan peduli aturan, mau ikut nggak pak?" tanya saya.
"Wah, tentu mau pak! Manajemen perusahaan kami kan sedang berusaha membuat perusahaan taksi kami menjadi yang terbaik", jawabnya pasti.
"Menurut pak Slamet, apa sih penyebab tidak tertibnya lalu lintas ini?" tanya saya.
"Ya, tadi itu pak. Yang pertama petugasnya tidak tegas. Orang kan kalau ada kesempatan ya pada ngejar. Mestinya kan tidak boleh kalau tidak pada tempatnya. Yang kedua, kendaraan bertambah banyak tidak terkontrol tambahnya itu. jadi, makin hari makin sesak saja, pak," jawabnya.
"O..begitu. Lalu kalau mau tertib mulainya dari mana tanpa nunggu tegasnya petugas..?" cecar saya.
"Mestinya dari golongan menengah, pak. Kalau dari rakyat kecil ini gak bunyi pak," jawabnya.
Hmmm, saya mencoba memahami maksudnya meski tidak mudeng juga. Anda tahu maksud sopir taksi itu?