Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Artikel Utama

Problematika Pejalan Kaki

3 Mei 2016   17:12 Diperbarui: 4 Mei 2016   00:54 397 3
Satu foto berbicara seribu kata. Kira-kira itulah kita menyebut foto yang terbit di harian surat kabar Ibu Kota ini. Seorang wanita bernama Alfini dengan berani menghadang beberapa pengendara sepeda motor yang berjalan melalui trotoar. Foto ini cukup menggambarkan seribu satu problematika pejalan kaki dan trotoar di Indonesia. Sebelumnya hal yang sama juga pernah dilakukan seorang bocah kecil pemberani bernama Daffa di Semarang yang berani menghadang sepeda motor di trotoar.

Hal-hal seperti ini sangat umum terjadi di kota-kota besar. Trotoar, jalur aman untuk pejalan kaki direbut seenaknya oleh pengendara kendaraan bermotor roda dua, atau bahkan kadang mobil. Hal ini sangat menyedihkan. Lalu kenapa hal tersebut bisa terjadi?

Penyebab utama tentu adalah kemacetan jalanan kota yang tak kunjung bisa teratasi. Laju urban tak terbendung, gedung-gedung merenggut tiap jengkal petak tanah yang tersisa makin mempersempit ruang gerak. Sementara peradaban modern dengan tuntutan waktu yang terus merongrong. Juga disebabkan karena makin meningkatkanya jumlah produksi dan penggunaan kendaraan bermotor di masyarakat yang disebabkan makin mudah dan murahnya membeli sebuah sepeda motor. Sementara hal tersebut tidak bisa diikuti dengan pertumbuhan ruas jalan. Hasilnya, kemacetan dimana-mana, hak-hak pejalan kaki jadi korban, ruas sempit trotoar dijajah kendaraan bermotor. Tak hanya itu, nyawapun jadi taruhan.

Mental pengendara kendaraan bermotor juga menjadi perhatian. Selama dibangku sekolah, kita semua diajarkan mengenai rambu-rambu lalu lintas dan aturan-aturan umum dijalan raya. Bahkan saat akan mengajukan penerbitan Surat Ijin Mengemudi (SIM), hal yang sama diuji untuk mengetahui pemahaman aturan-aturan dijalan raya. Tapi ketika sudah turun kejalan, semua berubah. Jalan raya seperti rimba tersendiri. Aturan hanya tinggal aturan. Orang-orang seperti kesetanan dikejar waktu, saling sikut tak terelakan, hingga tak peduli dengan hal-hal lain. Termasuk keselamatan sesama pengguna jalan raya.

Hak pejalan kaki yang sudah pada nafas-nafas terakhir semakin terenggut ketika trotoar beralih fungsi menjadi warung-warung tenda, atau parkir-parkir liar. Indonesia adalah negara yang sangat tidak ramah dengan pejalan kaki. Padahal jelas pejalan kaki dilindungi oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) serta Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2006 tentang Jalan. Pada Pasal 106 ayat (2) UU LLAJ menyebutkan bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda. Btw, saya adalah pesepeda dan saya tidak pernah merasa aman selama bersepeda.

Sayangnya, meskipun dilindungi secara konstitusi, dukungan nyata pemerintah terhadap pejalan kaki masih sangat minim. Hal ini dibuktikan dengan kurangnya pembangunan fasilitas pejalan kaki secara merata. Pemerintah lebih fokus pada proyek-proyek transportasi skala besar seperti kereta api, atau jalan tol. Kalaupun ada peningkatan fungsi trotoar, biasanya hanya di pusat-pusat kota saja, tujuannya jelas hanya untuk mempercantik pemandangan kota. Sedangkan, dipinggaran masih saja dianak-tirikan. Kita tidak perlu trotoar yang cantik-cantik, kita hanya perlu trotoar yang aman dan nyaman selama digunakan.

Ditengah hiruk pikuk kemacetan kota besar, jalan kaki bisa menjadi alternatif yang baik jika tak ingin terjebak macet selama berjam-jam menggunakan kendaraan. Beberapa orang mulai menyadari hal tersebut. Namun tampaknya hal ini belum disadari sepenuhnya oleh pemerintah, atau mungkin tak peduli sama sekali. Pejabat terlalu dimanja dengan mobil dinas mewah, kemana-mana dikawal polisi, tahu apa mereka tentang pejalan kaki!?

Mari kita sepakat, fungsi bahwa jalan raya sudah dibagi berdasarkan haknya. Untuk Pejalan kaki hanya mendapatkan sebagian sangat kecil dari jalan raya. Itupun masih terpotong oleh warung, tiang listrik, galian kabel, pos polisi, parkit liar, dan sebagainya. Sedangkan jalan kendaraan mendapatkan bagian yang seluas-luasnya, tanpa ada gangguan dari luar, diatur oleh polisi untuk kelancaran dan keamanan.

Jika sudah dibagi bedasarkan haknya masing-masing, dan trotoar yang sesempit itu masih juga dijajah sepeda motor, berarti memang ada yang salah dengan isi kepala pengendara motor. Jika sudah begini, usaha pemerintah membangun fasilitas transportasi publik akan sia-sia belaka, lah wong kelakuan penggunanya saja sudah tidak bisa diajak kompromi. Sebaiknya anggaran digunakan untuk proyek pencerdasan kembali pengguna kendaraan bermotor. Bagi saya mengendarai kendaraan bukan hanya soal kemampuan berkendara, tapi juga kecerdasan dan kebijaksanaan dalam menggunakan jalan raya sebagai fasilitas umum.

Saya lupa siapa, tapi ada yang pernah berkata begini; "Masyarakat Indonesia pada umumnya ramah-ramah, kecuali yang mereka berada dijalan raya". Dua hal yang kontras bukan? Apa yang dilakukan Alfini seperti yang terpotret diatas adalah cermin betapa sakitnya moral pengguna jalan raya. Dijalan raya Indonesia bukan lagi Indonesia. Sudah waktu untuk pejalan kaki untuk berhenti mengalah, berhenti memberi jalan untuk sepeda motor ditrotoar. Trotoar adalah milik pejalan kaki. titik!

Jika pelanggaran Hak-hak Asasi kecil seperti ini masih saja luput dari mata pemerintah, jangan harap pelanggaran HAM besar akan deperhatikan dengan serius.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun