Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Indonesia Berpesta

6 Januari 2019   19:17 Diperbarui: 6 Januari 2019   19:49 69 0

INDONESIA BERPESTA
Tahun sudah berganti, tetapi konflik di tubuh partai politik tak kunjung surut. Khawatir partai politik akan selalu dipandang miring di mata publik bila tak berbenah. Harapan bahwa parpol menjadi jiwa dari demokrasi di republik ini bisa sirna. Kadang kita ragu-ragu antara sinisme dan harapan, bahwa partai politik ialah alat politik yang dapat dipercaya sebagai saluran aspirasi publik, bukan saluran semata kekuasaan politik elite. Terkadang dengan mencibir kita saksikan perebutan kursi ketua umum partai politik tak kunjung sudah dan berakhir dengan kepengurusan ganda.

Bukankah pengurus-pengurus partai politik itu ialah orang-orang yang telah mempelajari politik, sehingga kemudian mereka berkecimpung dalam dunia politik? Dengan asumsi yang sederhana, jika kalangan elite, kader, dan tokoh senior sebuah partai politik sudah matang dalam berpolitik, semestinya partai itu menjadi lebih kokoh dan menyatu padu meningkatkan kualitas demokrasi di Republik ini.

Kualitas Demokrasi.........

Padahal, dalam evaluasi pemilu 2014 lalu, surei lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di 33 provinsi di Indonesia, memaparkan bahwa 80% menyatakan pemilihan presiden dan legislatif telah diselenggarakan cukup baik dengan acuan bebas dan adil.

Terkait persoalan partisipasi politik dalam pemilihan presiden 2014, The Indinesian Institude berpendapat bahwa pilpres 2014 sebagai salah satu pemilu yang berkualitas yang pernah diselenggarakan di Indonesia. Meningkatnya kualitas pilpres disebabkan tingginya partisipasi generasi muda yan ditunjukkan dengan berbagai model-model partisipasi di dalam tiap tahapan Pilpres 2014. Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan partai politiknya?

Ya, persoalan yang kini acap kali bergolak dan kemudian pecah dalam partai politik ialah soal regenerasi kepemimpinan di tubuh organisasi tersebut. Dari pergolakan tersebut kemudian muncul kubu-kubuan, yaitu anatara kubu tua dan kubu muda. Jadi, niat kekuasaan individu tampak lebih menonjol daripada keinginan untuk menumbuhkan kepercayaan publik terhadap partai politik menjadi lebih baik.

Dalam politik memang perlu mempelajari kekuasaan. Namun menurut David E Apter (1987:6), bukan kekuasaan yang intim, pribadi, dan kekuasaan perorangan yang mencakup hubngan timbal balik, melainkan kekuasaan kemasyarakatan, kolektif, dan publik. Perbedaanya lebih dari sekedar perbedaan skala. Rasa hormat dengan perhatian timbal balik mengikat keluarga bersama sama, tetapi dalam komunitas politik yang lebih luas, ikatan-ikatan kewajiban lebih longgar. Suatu wujud wewenang yang abstrak ialah lebih pentin.

Kehidupan kita menggambil bentuk dan makna dalam batas-batas wewenang, baik yang bersifat kekeluargaan maupun yang bersifat politik, bersifat perseorangan atau kolektif, dan bersifat pribadi maupun publik. Kita bisa membaca sejarah politik senagai sejarah zaman. Membaca tanda-tanda zaman merupakan sebagai usaha manusia Indonesia. Manusia bukan robot yang ditentukan mekanisme ekonomi dan teknik. Usaha manusia ialah suatu proyek yang dialektis, yakni hal logis yan muncul dari rawa-rawa materi, dari chaos, dari suatu hal yang kebetulan.

Menurut Brouwer (2004:21), ialah keyakinan yang nyata dalam semboyan dont't speak on the underdog! Jangan menyepak orang yang sudah setengah mati! Jangan menghisap darah orang yang darahnya sudah habis. Jangan menindas orang yang tidak berdaya. Jangan mencuri obat rakyat kecil, sedangkan yang mampu berobat ke Singapura.

Jadi, jantung politik dan demokrasi itu ialah publik. Partai politik tanpa suara publik akan mrnjadi wadah politik yang hampa. Rakyatlah yang memutuskan. Vox populi vox die. Sudah seharusnya, selain aktor politik belajar ilmu politik, juga mengerti tanda-tanda zaman, mengerti logika sejarah, dan mengerti bahwa kualitas demokrasi tergantung sejauh mana kualitas aktor politik serta partai politik.

Esok akan tiba saatnya dimana Indonesia mencapai puncak demokrasi politik tepat pada tangal 17 April 2019. Pada tahun-tahun seperti ini demokrasi masyarakat akan pemilihan pemimpin yang akan memimpin lima tahun kedepan mulai bergema kencang. Namun, ada dampak negatif yang akan dapat ditimbulkan dalam tahun politik. Dalam media sosial kita sudah banyak dibanjiri berbagai macam postingan-postingan tentang politik disertai komentar-komentar tajam dan pedas. Para peserta politik tentunya akan menyerang satu sama lain dan mencari kelemahan satu sama lain.

Memang dalam politik hal itu lumrah terjadi, namun jika dilakukan secara tidak sehat maka akan terjadi disintegrasi bangsa bahkan perpecahan. Seperti menyebar berita hoaks atau berita bohong. Indonesia kita tingkat literasinya cukup rendah.

Menurut UNESCO, Indonesia hanya berada di peringkat 60 daro 61 negara. Rendahnya tingkat literasi di Indonesia, menyebabkan berita bohong atau hoaks gampang disebar karena masyarakat Indonesia saat ini cenderung kurang detail dan teliti dalam memahami informasi yang beredar. Jika masyarakat terus memercayai berita hoaks, masyarakat akan gampang diadu domba oleh pembuat berita hoaks. Jadi berhati-hatilah dan tetap waspada

Ingat rakyat kecil tidak hanya bisa bungkam saja, mereka juga bisa bersuara, menangis, merasa, dan berpikir. Mereka bukan hewan, melainkan makhluk dengan jiwa dan akal. Pelajarannya, yaitu jangan lagi bikin kecewa dan menyakiti hati rakyat yang sudah berpartipasi untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Republik ini.

Zaman berubah, nalar politik manusia Indonesia berkembang dan sudah berubah. Banyak hal yang dulu dapat diterima, tetapi sekarang tidak lagi. Begitu pula pandangan publik terhadap partai politik

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun