Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Kembang Pitutur: Dari Stingghil, Jalan Kepiting hingga Opus 154

31 Mei 2012   15:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:33 279 0

Di minggu terakhir bulan mei ini,aku menerima empat eksemplar buku yang sangat menarik. Opus 154karya R Timur Budi Raja, “Kembang Pitutur”karya Alek Subairi dua buku yang meminta aku membedahnya pada acara pekan seni budaya Madura tanggal 20-24Juni 2012 di STKIP PGRI Sumenep. Sedangkan dua buku lainnya adalah “Tikar Pandan di Stingghil” Antologi Puisi 6 penyair kelahiran Sampang (Alek Subairi, Harkoni, Hidayat Raharja, Umar Faruk Mandangin, Umar FauziBallah, Yan Zavin Aunjand). Serta buku puisi “ Jalan Kepiting” karya Umar Fauzi Ballah. Buku-buku puisi yang amat menarik baik dari sisi tampilan atau kemasan maupu dari sisi literal.

Dari sisi kemasan ke empat buku tersebut dikerjakan dengan sangat unik, desain cover yang artistik dan penuh warna dengan lukisan para pelukis profesional. Sehingga keempat buku tersebut memikat konsumen untukmenyentuh dan membacanya. Hal baru dalam perkembangan penerbitan di Jawa Timur khususnya di Surabaya, dan secara kebetulan ke empat buku tersebut diterbitkan oleh ampermedia surabaya bekerjasama dengan penerbit komunitas lokal yang ada di daerah Madura.

Secara literer keempat buku yang aku sebutkan ini memiliki makna yang sangat signifikan dalam perkembangan sastra di Jawa Timur dan di Madura, khususnya di tanah Sampang dan Bangkalan. Di Sampang yang selama ini lebih dikenal dengan sikap dan tindakan perilaku kekerasan – sebagaimana juga beberapa penelitian di masa lalu mengindikasikan kepada hal semacam itu. “Kekerasan di Masyarakat Madura” karya Elly Towen-Bouwsma (1989) dan “Lebih baikputih tulang daripada puitih mata: Tidakan menolong diri sendiri deangan kekerasan dalam masyarakat Madura’ (2003) karya Hubb de Jonge, adalah fakta yang menunjuk kepada kekrasan itu. Pun juga upaya Zawawi untuk melebur kekerasan itu dalam pencitraan dalam puisinya yang menimbulkan efek kepada pengenalan makna baru dari kearifan lokal di Madura.

Empat buku puisi yang aku dapatkan ini mampu memberikan pencerahan literer dalam memaknai ke-Madura-an bagi para penyair Madura. Khususnya pada penyair Alek Subairi, R Timur Budi Raja, Umar Fauzi Balah yang menyertakan buku puisi tungalnya adalah sebuah literasi yang menunjukan perjalanan dan perkembangan puisi di tanah Madura dan pemaknaan baru mereka terhadapkultur lokal di tengah perkebangan dan pergaulan peradaban global. Mereka tak lagi berbicara carok, kekerasan, atau mengenai mitos yang tumbuh menghiudpi masanya. Mereka bergerak dalam sebuah literasi atas pembacaan pergaulan kultural soiopolitik yang dirasakan oleh hampir semua kaum muda yang berfikir dan bersikap kritis.

Sungguh beruntung dan menikmati buku – buku mereka, aku sepertimemasuki sebuah wilayah baru dari berbagai pintu. Wilayah Madura yang takterlepas dari wilayah lainnya.Kultur Madura yang berbaur dan saling berbelit dengankulturlain yang datang mengunjungi dan mencumbuinya. ******(HR)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun