Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Pilkada, Pesta Demokrasi untuk Pembangunan

16 September 2014   03:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:35 92 1

Beberapa waktu belakangan ini politik Indonesia diramaikan tentang isu RUU Pilkada. Ada dua kubu yang berseberangan dalam pemilihan Kepala Daerah. Satu kubu yang beranggotakan koalisi merah putih menginginkan agar pemilihan Kepala Daerah dikembalikan lagi kepada DPRD, sementara kubu yang lain menginginkan agar Kepala Daerah tetap dipilih langsung oleh rakyat.

Dalam uraian ini kami selaku penulis ingin memberikan alternatif pemikiran mengenai Pemilihan Kepala Daerah yang dianggap sebagai perwujudan Demokrasi di tingkat daerah.

Pemilihan Kepala Daerah sebaiknya dikembalikan pada semangat otonomi daerah yang menitik beratkan pada pembangunan yang bisa dirasakan manfaatnya oleh semua rakyat Indonesia. Penulis berpendapat semestinya ada parameter atau klasifikasi daerah berdasarkan angka/indeks pembangunan daerah yang bersangkutan. Indeks pembangunan daerah inilah yang nantinya akan menentukan apakah sebuah daerah sudah bisa diberikan kesempatan untuk memilih kepala daerahnya secara langsung atau tidak.

Penulis berpendapat perlu ada standar minimal Indeks Pembangunan Daerah (IPD) yang didasarkan pada beberapa aspek. Apabila IPD sebuah daerah sudah mencapai angka tertentu maka daerah tersebut sudah bisa melaksanakan pilkada langsung. Sebaliknya apabila IPD suatu daerah masih dibawah angka IPD minimal, maka Kepala Daerah ditunjuk langsung saja oleh pemerintah. Kepala Daerah yang kami maksud disini adalah Kepala Daerah tingkat II (Bupati dan/atau Wali Kota), sementara untuk gubernur penulis berpendapat untuk dipilih langsung oleh Rakyat.

Alasannya sederhana saja. Seorang kepala daerah adalah pejabat yang bukan hanya sebagai pemimpin pemerintahan setempat, tetapi juga mengemban amanat untuk memimpin pembangunan yang mana hasil-hasil pembangunan tersebut harus bisa diukur secara jelas dan dirasakan manfaatnya oleh semua warga masyarakat. Daerah yang masih tertinggal, dalam hal ini ditunjukkan dalam IPD yang kecil harus didorong agar bisa lebih ber-akselerasi mengejar ketertinggalannya dari daerah lain. Oleh karena itu penulis beranggapan perlu ada campur tangan dan koordinasi langsung antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Sementara untuk daerah dengan IPD diatas minimal kami anggap sudah bisa mandiri/berdikari dalam mengurus pembangunannya sehingga bisa diberikan kesempatan untuk memilih pemimpinnya secara langsung.

IPD dapat ditunjukan dari beberapa parameter, seperti : Pendapatan perkapita, Pendapatan Asli Daerah (PAD), perbandingan antara PAD dengan APBD, ketersediaan sarana pendidikan baik kuantitas dan kualitasnya, rata-rata tingkat pendidikan masyarakat, ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan meliputi kuantitas dan kualitasnya, ketersediaan sarana dan prasarana umum baik kuantitas dan kualitasnya, serta beberapa parameter-parameter lainnya.

Dengan menggunakan skala penilaian 0 sd. 100, penulis mengelompokan daerah berdasarkan nilai IPD sebagai berikut.

No

Nilai IPD

Kelas Daerah

1

> 90 sd. 100

A

2

> 80 sd. 90

B

3

> 70 sd. 80

C

4

> 60 sd. 70

D

5

> 50 sd. 60

E

6

< 50

F

Dari klasifikasi daerah diatas, untuk daerah dengan nilai IPD minimal > 70 (kelas A, B dan C), daerah ini sudah bisa melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Sementara daerah dengan IPD 70 kebawah (kelas D, E dan F), kepala daerah di daerah tersebut ditunjuk langsung oleh pemerintah.

Daerah dengan kelas D,E, dan F kami anggap masih belum memenuhi standar minimal pembangunan, oleh karena itu kami berpendapat lebih baik semua energi dan sumber daya yang ada di fokuskan untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dari daerah lain daripada menghabiskan energi, waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk sebuah “pesta demokrasi lokal”. Kepala daerah untuk daerah ini cukup ditunjuk oleh pemerintah. Nantinya apabila dikemudian hari daerah tersebut sudah bisa memenuhi standar IPD minimal maka kepada daerah tersebut juga berhak untuk menyelenggarakan pilkada langsung.

Sebaliknya, daerah dengan kelas A, B dan C dianggap sudah mampu mengurus pembangunan daerahnya secara mandiri sehingga layak diberi kesempatan untuk memilih kepala daerahnya secara langsung. Akan tetapi apabila dikemudian hari terjadi penurunan angka IPD sehingga dibawah IPD minimal, maka kelas daerah akan turun dan bisa saja kepala daerahnya tidak lagi dipilih langsung akan tetapi ditunjuk oleh pemerintah.

Gambaran teknisnya sebagai berikut :
Pemerintah pusat mengadakan penilaian kepada seluruh Daerah tingkat II (kabupaten dan/Kota) bisa melalui Badan Pusat Statistik atau badan akreditasi lainnya. Setelah keluar hasil klasifikasi daerah, selanjutnya pemerintah pusat menentukan daerah mana yang bisa melaksanakan pilkada langsung, dan daerah mana yang tidak. Untuk daerah yang bisa melaksanakan pilkada langsung maka dalam jangka waktu tertentu (misal; secepatnya 18 bulan, selambat-lambatnya 2 tahun) dilaksanakan pilkada dengan sistem langsung. Selanjutnya untuk daerah yang berdasarkan klasifikasi tidak bisa melaksanakan pilkada langsung, maka pemerintah pusat mempersiapkan kepala daerah yang akan ditunjuk untuk memimpin wilayah tersebut, secepatnya dalam 18 bulan, selambat-lambatnya 2 tahun pejabat kepala daerah tersebut sudah bisa melaksanakan tugasnya. Masa jabatan kepala daerah sama, yaitu selama 5 (lima) tahun.

Selanjutnya, setelah 3 (tiga) tahun menjalankan pemerintahan, dilaksanakan kembali penilaian IPD untuk seluruh daerah sesuai kriteria yang sudah ditentukan. Hasilnya akan digunakan untuk menentukan periode kepemimpinan selanjutnya, apakah akan dilaksanakan pilkada langsung atau kepala daerahnya ditunjuk oleh pemerintah. Demikian seterusnya.

Untuk pejabat yang ditunjuk menjadi kepala daerah adalah Pegawai Negeri Sipil dengan eselon tertentu sekurang-kurangnya setingkat diatas sekda, dan bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat melalui menteri dalam negeri. Pencapaian penilaian IPD uga bisa sekaligus dijadikan pengukuran kinerja PNS dimaksud.
Dengan pemaparan seperti diatas penulis tidak bermaksud menghambat/membatasi demokrasi di tataran daerah, akan tetapi penulis berpendapat perlunya korelasi antara demokrasi dengan hasil-hasil pembangunan yang harusnya bisa di ukur secara jelas dan dirasakan manfaatnya bagi seluruh masyarakat Indonesia. Jadi perebutan kursi kepala daerah tidak semata-mata didasarkan pada keinginan/ambisi untuk berkuasa, akan tetapi harus didasari pada semangat bekerja dan mengabdi untuk membangun masyarakat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun