Cinta terkadang menyamarkan makna sesuatu, membuat pemujanya tergelatak kaku tak berdaya bak kucing tersiram seember air mendidih, panas, tak tertahankan. Begitulah nafsu cinta, buta, bisu, tuli. Namun cinta melebihi kekuatan indera apapun. Dia suci, mulia, tak berbatas jarak, waktu, atau apapun.
Emas tak seduduk perak
Kapas tak setara benang
Tapi cinta itu buta, Kawan
Tak dapat membeda gelas dan cawan
Begitulah cinta, kendati seribu pujangga melukisnya dalam wajah sejarah, tetap saja mereka tak dapat menceritakan lekuk tubuhnya sesentipun. Cinta Maha Karya Alam Semesta, melimpah ruah dalam hati anak manusia. Cinta, yang indah parasnya melebihi keindahan yang ada di bumi dan langit. Cinta sang Maestro sejati, dari lentik jemarinya yang sekali kibas mampu melahirkan jutaan urutan nada-nada berseni tinggi nan syahdu. Menggetar hati siapa saja yang mendengarkan, melayangkan jiwa-jiwa gundah kembali ke peraduannya yang penuh damai. Meski sebenarnya mereka sadar itu tak masuk dalam logika kebenaran. Cinta, yang padanya telah ditiupkan seribu nafas dewa dewi. Merajai hati pemiliknya, menebarkan ranum semerbak mawar pada siapa saja yang memetik tangkai kembangnya. Cinta lambang kekuasaan hati, mengantar mereka yang tersesat dalam lorong kegelapan jiwa, memberi berkas cahaya terang di dalamnya.
Cinta, yang senyumnya mampu meruntuhkan langit hingga rata bersama bumi. Tak ada jarak diantara keduanya, bagai daging dan kulit yang menempel, atau seperti jarak antara manusia dengan kematiannya. Begitu dekat, intim, saling berpaut satu sama lain. Cinta, tak lain adalah sekumpulan lautan madu. Begitu manis dikecap lidah. Bahkan jika seluruh samudera sejagad bermadukan cinta dikumpul menjadi satu, takkan mampu menghapus dahaga penikmatnya.
Itulah CINTA,
Tak satupun anak manusia mampu melukis wajahnya dalam pangkuan sejarah.