Dalam setiap pemilu, setiap warga negara memiliki hak yang setara untuk memilih calon presiden. Meskipun demikian, beberapa individu memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dengan berbagai alasan, dan mereka sering disebut sebagai golongan putih atau golput.
Dalam konteks hukum, Konstitusi dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menjamin hak setiap warga negara untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak. Hak ini dilaksanakan melalui pemungutan suara yang harus dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Meskipun golput tidak secara eksplisit diatur dalam UU Pemilu, upaya untuk mempengaruhi orang lain agar tidak menggunakan hak pilihnya diatur oleh Pasal 284 UU Pemilu.
Pasal 284 UU Pemilu menyebutkan bahwa memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih dengan maksud agar mereka tidak menggunakan hak pilihnya dapat dikenakan sanksi. Namun, istilah "golput" sendiri tidak dikenal dalam UU Pemilu, dan perbuatan ini tergolong dalam upaya mempengaruhi atau mengajak orang lain agar tidak menggunakan hak pilihnya.
Dalam hal ini, orang yang melakukan upaya mempengaruhi agar tidak menggunakan hak pilihnya dapat dikenai pidana sesuai dengan Pasal 515 dan Pasal 523 ayat (3) UU Pemilu. Meskipun demikian, hak untuk memilih atau tidak memilih sebenarnya diakui sebagai hak politik yang dilindungi oleh UU HAM, dan beberapa ahli hukum berpendapat bahwa golput seharusnya tidak dianggap sebagai tindakan pidana.
Penting untuk dicatat bahwa golput, atau tidak menggunakan hak pilih, tidak secara eksplisit diatur sebagai perbuatan yang dapat dipidana dalam UU Pemilu. Namun, yang dapat dipidana adalah upaya mempengaruhi orang lain agar tidak menggunakan hak pilihnya. Terlepas dari pandangan ini, golput masih diakui sebagai bagian dari hak politik seseorang untuk memilih atau tidak memilih, dan hal ini dijamin oleh UU HAM.