Paylater memungkinkan konsumen untuk membeli produk atau jasa terlebih dahulu dan melakukan pembayaran secara mencicil sesuai periode yang dipilih. Di Indonesia, layanan paylater disediakan oleh berbagai lembaga keuangan seperti bank, lembaga pembiayaan, dan fintech peer to peer lending. Meskipun demikian, paylater bukanlah lembaga yang memberikan pinjaman tunai, melainkan merupakan fitur transaksi digital atau metode pembayaran.
Regulasi terkait paylater telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.
Dalam pengaturan transaksi paylater, agunan dapat digunakan sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (2) huruf I POJK 10/2022. Namun, umumnya praktik paylater tidak melibatkan agunan dalam transaksinya. Namun, apakah penyedia layanan paylater memiliki hak untuk menyita aset debitur dalam kasus wanprestasi?
Menurut Fikri Mursyid Salim, Asisten Manager Hukum dan Kepatuhan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan, ketentuan sita aset saat debitur paylater wanprestasi mirip dengan transaksi pinjaman online atau fintech peer to peer lending tanpa agunan. Jika utang tidak dijamin, penyelenggara paylater tidak memiliki wewenang untuk menyita aset debitur tanpa melalui proses hukum yang tepat.
Fikri menjelaskan bahwa jika layanan paylater disertai dengan jaminan, penyelenggara sebagai kreditor memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi objek jaminan melalui parate executie pada sertifikat jaminan fidusia, hak tanggungan, dan sejenisnya. Namun, jika tidak ada jaminan, penyedia paylater dapat mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan wanprestasi ke pengadilan dan meminta sita jaminan atas harta kekayaan debitur.
Debt collector yang mengambil barang atau harta debitur secara paksa tanpa hak dapat dianggap melanggar hukum, dan debitur berhak melaporkan tindakan tersebut kepada pihak kepolisian. Penagihan melalui debt collector juga harus mematuhi prosedur hukum dan tidak dapat dilakukan tanpa putusan pengadilan yang mendukung.
Selain risiko hukum, keterlambatan pembayaran paylater dapat berdampak pada biaya keterlambatan, pembatasan akses fungsi di aplikasi, dan penurunan peringkat kredit debitur di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK. Penting bagi pengguna paylater untuk memahami risiko dan menggunakan fasilitas tersebut secara bijak dan bertanggung jawab, menghindari jebakan finansial dan merencanakan keuangan jangka panjang.