Meskipun diakui sah secara agama, pernikahan siri tidak diakui secara hukum menurut undang-undang. Tidak ada regulasi khusus yang mengatur pernikahan siri. Dalam konteks hukum perkawinan, UU Perkawinan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan sah jika dilakukan sesuai hukum agama dan kepercayaan masing-masing, serta dicatat sesuai perundang-undangan (ayat 2).
Konsekuensi dari pernikahan siri mencakup berbagai aspek, seperti hambatan mendapatkan restu orang tua, upaya menghindari zina, atau sebagai bentuk poligami. Namun, yang paling terdampak adalah pihak perempuan atau istri siri, karena pernikahan ini tidak memiliki legalitas resmi. Dampaknya melibatkan masalah seperti warisan dan harta gono-gini saat bercerai.
Untuk membuat pernikahan siri diakui, upaya hukum tidak selalu melibatkan pernikahan ulang. Lebih tepatnya, langkah yang perlu diambil adalah melalui proses isbat nikah. Isbat nikah adalah pengesahan perkawinan secara agama Islam yang tidak tercatat oleh instansi resmi. Dalam proses ini, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan isbat nikah kepada Pengadilan Agama.
Prosedur permohonan isbat nikah melibatkan beberapa langkah, seperti mendaftar ke Pengadilan Agama setempat, membayar biaya perkara, menunggu panggilan sidang, hadir dalam sidang, dan jika dikabulkan, Pengadilan Agama akan mengeluarkan penetapan isbat nikah. Hukum nikah ulang setelah pernikahan siri tidak diperlukan dalam konteks ini, selama isbat nikah telah berhasil memvalidasi pernikahan siri di mata hukum.
Dalam kesimpulannya, upaya membuat pernikahan siri diakui hukum tidak selalu memerlukan pernikahan ulang. Isbat nikah dapat menjadi alternatif yang efektif untuk mendapatkan pengakuan hukum atas pernikahan siri, dengan mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.