Dalam situasi perceraian, aturan terkait harta bersama diatur oleh Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketika perkawinan berakhir, pembagian harta bersama disesuaikan dengan hukum agama, adat, dan hukum lainnya.
Definisi harta kekayaan dalam perkawinan, termasuk harta bersama, dijelaskan dalam Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam. Ini melibatkan harta yang diperoleh selama pernikahan, seperti uang, kendaraan, atau barang yang dibeli atau diberikan kepada suami-istri dari penghasilan mereka bersama. Harta bersama juga mencakup aset yang diperoleh melalui kredit, dan status kreditnya tetap menjadi bagian dari harta bersama.
Dalam beberapa kasus, pasangan suami-istri dapat memiliki harta bersama yang masih dalam proses kredit di bank. Penyelesaian terhadap hal ini biasanya melibatkan diskusi di antara pasangan. Menurut Pasal 32 ayat (2) UU Perkawinan, pemilihan rumah tempat tinggal (harta kredit) ditentukan bersama oleh suami-istri.
Apabila terjadi perceraian, Pasal 37 UU Perkawinan menyatakan bahwa harta bersama akan diatur sesuai dengan hukum masing-masing pihak. Hakim dapat memberikan beberapa keputusan terkait harta bersama yang masih dalam kredit, seperti menjualnya melalui over kredit kepada pihak ketiga atau menentukan tanggungan sisa hutang kepada mantan suami dan mantan istri.
Namun, tidak semua kasus pembagian harta gono gini yang masih dalam kredit diterima oleh pengadilan, sesuai dengan ketentuan SEMA No. 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2018.
Keputusan mengenai nasib harta yang masih dalam kredit perlu dicermati oleh suami-istri, apakah akan dijual, diserahkan kepada salah satu pihak, atau dihibahkan kepada pihak ketiga. Pembayaran kredit tetap menjadi tanggung jawab bersama suami-istri, dan bank tidak campur tangan dalam urusan pribadi mereka. Kesepakatan perlu dibuat mengenai pembayaran kredit dan penentuan nasib harta kredit untuk memastikan kelancaran proses perceraian.