Memang situasi lalu lintas di Indonesia bisa dibilang cukup rumit dan njlimet. Ada semacam aturan tidak tertulis bahwa kendaraan yang lebih besar atau mereka yang lebih mampu secara finansial selalu berada di pihak yang bersalah.
Selain itu, mereka yang dianggap minoritas (saya sungguh membenci istilah ini tetapi belum menemukan kata lain yang lebih tepat) juga berada di pihak yang salah. Entah ini masalah keberpihakan kepada orang kecil atau arogansi, saya tidak tahu. Ini adalah sebuah kenyataan yang harus kita akui keberadaanya di Indonesia.
Dengan adanya asumsi tersebut, maka banyak orang berkendara dengan seenaknya tanpa memperhatikan etika berlalu lintas.
Lho? Memangnya ada etika berlalu lintas? Ada! Sayangnya, etika tersebut tidak dituangkan dalam wadah yang mudah dipahami oleh masyarakat umum. Itu semua dituangkan dalam bentuk UU yang bahasanya tingkat dewa sehingga tidak mudah dipahami.
Walaupun saya memiliki SIM, jujur, saya belum pernah membaca aturan yang tertuang dalam UU lalu lintas jalan raya, yang bahkan saya tidak tahu itu nomor berapa tahun berapa. Konyol kan! Namun, sekali lagi, itulah kenyataan yang harus kita akui.
KEMBALI KE ARTIKEL