Dari sisi ketenagalistrikan, sebagian besar pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil yang tidak terbarukan. BBM masih menjadi primadona sumber energi listrik di luar jawa, terutama di luar Jawa. Beberapa wilayah yang memiliki cadangan batu bara mulai mengkonversi BBM menjadi batu bara. Namun… semuanya masih menghasilkan emisi gas yang mencemari lingkungan.
Sebagai salah satu negara yang memiliki banyak gunung, Indonesia punya potensi yang luar biasa dalam hal energi panas bumi. Energi panas bumi ini sangat berhubungan dengan keberadaan gunung berapi. Energi ini terkandung dalam air panas, uap air dan batuan berikut mineralnya yang dipanaskan oleh sistem panas bumi. Penjelasan tentang proses terjadinya energi panas bumi dapat di baca di sini.
Berikut adalah gambar yang menunjukkan potensi energi panas bumi dan lokasi gunung yang berada di Indonesia. Apabila kedua gambar itu digabungkan, maka jelas sekali bahwa lokasi yang memiliki energi panas bumi pasti berdekatan dengan gunung.
Dengan 143 gunung (yang sudah dilaporkan), Indonesia menyimpan potensi energi panas bumi yang sangat besar. Bagaimana dengan pemanfaatannya?
Saat ini, Indonesia telah memiliki beberapa PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi) yang dipelopori oleh PLTP Kamojang, Jawa Barat, pada tahun 1980an. Sukses membangun PLTP Kamojang mendorong pemerintah untuk membangun PLTP di lokasi lain. Hingga hari ini sudah ada beberapa PLTP yang beroperasi untuk memperkuat sistem energi listrik Nasional. Tentu saja, lokasi PLTP itu berada di sepanjang jalur cincin api yang mengelilingi Indonesia.PLTP adalah PLTP Lahendong, PLTP Lumut Balai, PLTP Ulubelu(Lampung), PLTP gunung Salak (Jawa Barat), PLTP Dieng (Jawa Tengah), PLTP Wayang Windu (Jawa Barat), PLTP Patuha (Jawa Barat), PLTP Sibayak (Sumatera Utara)
Berdasarkan laporan statistik PLN 2011, kontribusi PLTP masih 1,5% dengan kekuatan 435 megawatt dari 10 PLTP (3 di antaranya berada di luar Jawa dengan kapasitas 60 megawatt). Ini berarti, kontribusi PLTP masih sangat kecil dibandingkan dengan jenis pembangkit listrik lainnya.
Selain itu, dari laporan yang sama juga dapat dibaca bahwa PLN masih menanggung ‘hutang energi listrik’ kepada penduduk di luar jawa sebesar 1.211.688,50 kVA. Dibandingkan dengan hutang yang sama untuk pulau Jawa yang sebesar 195.577 kVA, nilai ini sangat besar.
Berdasarkan data dari ITB, Indonesia memilik prospek untuk mengembangkan energi panas bumi di 256 lokasi yang tersebar di Sumatera (84), Jawa (76), Sulawesi (51), Nusa Tenggara (21), Papua (3), Maluku (15), dan Kalimantan (5). Di wilayah ini, hingga akhir tahun 2011 belum terpasang PLTP (kecuali di provinsi Sulawesi Utara), padahal daerah tersebut punya potensi. Permasalahannya, proyek yang sudah ditenderkan ini berpotensi macet.
Hal ini tentu saja sangat disayangkan, mengingat daerah luar Jawa masih kekurangan pasokan energi listrik. Mengandalkan BBM atau batu bara jelas bukan pilihan yang bijak saat daerah tersebut memiliki potensi sumber energi terbarukan yang belum diolah.
Menurut Nenny Saptadji, biaya pengembangan lapangan uap (steam field) terdiri atas:
- Biaya survey eksplorasi
- Biaya pemboran sumur (sumur eskplorasi, pengembangan, injeksi, make up)
- Biaya lahan, jalan, persiapan lahan dan lain-lain.
- Biaya fasilitas produksi
- Biaya sarana pendukung
- Biaya operasi dan perawatan
Selain itu, ada beberapa resiko yang harus dihadapi dalam pembangungan PLTP, seperti resiko terkait dengan sumber daya (potensi energi, jumlah titik sumber, biaya variabel, dll), resiko terkait dengan penurunan kemampuan produksi, resiko terkait dengan pembangungan infrastruktur, dan yang paling penting adalah terkait dengan bencana alam yang mungkin timbul. Ini menunjukkan bahwa pembangungan PLTP merupakan sebuah investasi berskala besar.
Apakah karena biaya investasi yang mahal itu akan membuat peremintah menunda atau bahkan menolak pembangungan PLTP di luar Jawa? Kita tidak tahu! Apakah saat ini pemerintah kekurangan dana? Kita juga tidak tahu dengan pasti! Hanya saja, rakyat Indonesia disuguhi dengan berbagai jamuan berita yang sarat dengan korupsi dan keegoisan para wakil rakyat dan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa dana tersebut ada tetapi sepertinya tidak dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat.
Negara miskin seperti Sudan saja sudah berhemat untuk urusan energi listrik dengan memanfaatkan angin. Bahkan, mereka sudah mampu menjual teknologi itu ke negara lain. Itu akan menjadi sumber devisa.
Seandainya pemerintah melihat dengan jeli potensi panas bumi di Indonesia yang terletak di cincin api pasifik ini, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi salah satu negara yang mampu menjual teknologi pemanfaatan panas bumi untuk banyak keperluan. Selain itu, kebutuhan listrik nasional juga akan terpenuhi.
Hal ini tentu saja memerlukan dukungan sumber daya manusia yang siap diajak untuk berpikir ‘gila’. Kita memerlukan tenaga-tenaga muda yang ahli di bidang panas bumi untuk mengembangkan penelitian dan lebih lanjut mengimplementasikan teknologi itu untuk kesejahteraan rakyat banyak. Mereka juga masih harus didukung oleh tenaga muda yang ahli di bidang-bidang terkait seperti ekonomi (terkait manajemen dan perhitungan biaya) dan antropologi (terkait dengan budaya dan tradisi yang berada di daerah dengan potensi panas bumi).
Sungguh, ini merupakan sebuah pekerjaan besar yang memerlukan waktu yang panjang dengan proses yang berliku. Siapkah kita menyongsong era kemerdekaan dari belenggu masalah ketenagalistrikan?
DIRGAHAYU KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA KE-67! MERDEKA!