Di sebuah desa, di kaki gunung Slamet, kala itu tahun 1988. Sebuah keriuhan tengah tergelar, pemilihan kepala desa, dimana salah satu calonnya adalah kakak perempuan saya. Di tengah pesta kecil demokrasi, ada “keriuhan” lain. Nun di sisi utara di puncak gunung Slamet, pijaran merah terlihat meski tidak terlalu jelas. Para sesepuh bilang, “Ana ndaru….wah, sing ketiban ndaru, kue sing bakal dadi lurah!”. Sebuah kalimat yang diucapkan dalam dialek Banyumasan, yang kurang lebih berarti, “Ada ndaru, yang kajatuhan ndaru yang bakal jadi lurah!”.