Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Menguak Kurikulum Kita

17 Desember 2014   21:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:06 1673 0

Ada banyak pertanyaan yang diajukan ke saya tentang kurikulum pendidikan Indonesia saat ini. Bagus mana KTSP dengan K13 (Kurikulum 2013)? K13 kesannya horror, ya? Ribet, ya? Kalau menurut gurunya bagaimana? Soal buku pelajaran bagaimana? Kurang lebih seperti itu pertanyaan yang acap muncul.

Sebelum menyoal K13, sedikit saya ingin mengenang ke belakang saat di mana status saya adalah seorang siswa. Saat SD dulu saya mengalami dua kurikulum, kurikulum ’75 dan kurikulum ’84, sedangkan saat SMP dan SMA kurikulum ’84. Sejujurnya saya tak terlalu paham perbedaan kurikulum-kurikulum kala itu. Seingat saya, saat saya di kelas 2 SD muncul istilah CBSA dan ada pelajaran baru yaitu PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), yang belakangan pelajaran ini kemudian menghilang. Saat SMA, yang saya tahu, perbedaan angkatan saya dengan adik kelas saya yang menggunakan kurikulum ’94 adalah soal penjurusan. Dimana jaman saya penjurusan di SMA menggunakan nama jurusan Ilmu-ilmu Fisik (A1), Ilmu-ilmu Hayati (A2), Ilmu-ilmu Sosial (A3), dan Ilmu-ilmu Bahasa (A4) sedangkan angkatan sesudah saya menggunakan nama jurusan IPA, IPS, Bahasa. Perbedaan lain yang saya ingat, jatah jam pelajaran untuk mata pelajaran tertentu. Sebagai contoh, untuk Fisika, di jaman saya SMA, untuk jurusan A1 jam Fisika 8 jam per minggu, A2 6 jam per minggu. Sedangkan di kurikulum ’94, jatah jam Fisika 5 jam per minggu untuk jurusan IPA. Adakah perbedaan untuk metode pembelajaran pada kurikulum-kurikulum tersebut? Rasanya, sih, tidak, kalaupun iya, lebih karena faktor gurunya yang inovatif.

Istilah Discovery Learning, Inquiry Learning, yang sekarang menjadi booming di K13, bukanlah hal baru sebenarnya. Saat SD dulu, guru saya sering menerapkan metode ini untuk pembelajaran di kelas. Saya ingat betul, kala itu kami belajar tentang bagian-bagian bunga, dan guru kami meminta kami untuk membawa setangkai bunga sepatu (Hisbiscus Rosa Sinensis). Kami diminta untuk mengamati bagian kelopak, putik, benang sari, dan tangkai untuk kemudian dicocokkan dengan gambar bunga di buku. Satu pembelajaran yang sangat berkesan, yang tanpa saya sedari memengaruhi saya di kemudian hari. Atau bagaimana dulu, menjelang pulang, kami beradu menghitung dengan cara mencongak dalam suasana yang menyenangkan, dan sebagai reward, siapa yang lebih dulu menjawab dengan benar, dialah yang akan pulang lebih dulu.  Saya kemudian membandingkan dengan anak-anak saya, yang notabene bersekolah di era canggih, hanya dengan sekali klik terbukalah segala informasi. Saya tanyakan padanya sambil menunjukkan setangkai bunga sepatu, mana putik, mana benang sari. Jawabnya, “Lupa, Bu!”. Apa yang pernah dipelajarinya rupanya tak terlalu melekat, karena hanya sebagai faktor hafalan saja. Begitu saya tunjukkan, dia lantas berkata, “Oh, yang kayak di buku itu? Yang kayak di laptop?”. Bagaimanapun sesuatu yang konkret rupanya lebih melekat pada anak seusia mereka dibanding yang abstrak. Tapi sayang, kadangkala sistem pembelajaran di sekolah kurang memperhatikan ini. Kapan anak baru masuk ke taraf berpikir konkret saja, kapan sudah dapat berpikir abstrak. Kurikulum pendidikan kita di era canggih ini memang luar binasa (saking luar biasanya). Suatu hari saya terkejut, saat mendapati anak sulung saya tengah menghafalkan istilah rangka tubuh manusia dalam bahasa latin, padahal saat itu dia baru duduk di kelas 4 SD. Saya katakan padanya, “Jangan kamu teruskan menghafalkannya, ini pelajaran anak SMA kelas X!”.

Ketika muncul kurikulum baru, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang kemudian berubah nama menjadi KTSP, satu hal yang kala itu digembar-gemborkan adalah bahwa kurikulum tersebut disesuaikan dengan karakteristik daerah/sekolah masing-masing. Meskipun pada akhirnya yang menjadi karakteristik sekolah hanyalah sebatas pelajaran mulok (muatan lokal), yang artinya menambah beban belajar karena bertambahnya jumlah mata pelajaran. Bayangkan, untuk anak kelas X di SMA, mereka setidaknya harus belajar 17 mata pelajaran per minggu, yang kadang membuat saya, sebagai gurunya berpikir, ini anak-anak apa nggak mblenek, ya? Ketimpangan lain adalah soal pelaksanaan UN alias Ujian Nasional yang tetap diberlakukan, meskipun berlawanan dengan “semangat” KTSP yang seharusnya menampung perbedaan kondisi sekolah. KTSP sendiri merupakan singkatan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, dimana guru di sekolah-sekolah diberi kewenangan mengembangkan kurikulum sesuai dengan karakteristik dan kondisi sekolahnya. Lalu, kenapa untuk ujian akhir diseragamkan? Okelah bila UN hanya sebatas digunakan sebagai pemetaan mutu dan kualitas pendidikan, bukan sebagai persyaratan kelulusan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun