Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Debata Idup: Dinamika Hidup

13 Desember 2011   21:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:20 422 0
(lanjutan dari “Toba: Titik-Temu”) Santos benar, kisah-kisah tragedi berulang-ulang di Nusantara (yang terkadang di perhalus menjadi “penciptaan kembali”) sekaligus menggunakan simbol-simbol Ibu-Putra memang eksis di berbagai mitologi di Indonesia. Misalnya di dalam tradisi Batak, Minahasa, dan Sunda. Saya memilih tiga ini karena, selain mempunyai ciri khas Ibu-Putra yang di maksud, ada beberapa intisari dari legenda-legenda ketiganya yang bisa di hubungkan satu dengan yang lain seperti; perbintangan (Batak), bumi yang bundar (Sunda, Minahasa), bumi yang berputar pada porosnya (Minahasa). Dengan begini kita bisa tahu bahwa pengetahuan-pengetahuan yang di wariskan oleh leluhur sebenarnya tidak hilang seluruhnya, bahkan bisa di bilang, saling melengkapi, dan pada akhirnya terhubung dengan tradisi-tradisi lainnya seperti Nias, Sumba, Bali, Toraja, dan masih banyak lagi lainnya, yang mengindikasikan wilayah Indonesia sebagai pasak, poros, pusat, pancang atau tiang bumi. Menurut Bernd Nothofer, dalam sebuah rekonstruksi bahasa-bahasa pra-sejarah kepada 30 bahasa dominan di Nusantara, Batak, bersama Nias, Gayo, Simalur, Mentawai, dan Enggano, merupakan sisa dari bahasa-bahasa budaya kuno Sundaland-Barat. Ia lalu menghubungkannya dengan yang tersisa di Sundaland-Timur seperti Sulawesi Utara, Filipina Selatan, dan Borneo Utara (Embaloh, Kayan). Secara keseluruhan yang tersisa dari Sundaland ini ia sebut; Paleo-Hesperonesia. Kemudian Oppenheimer melebarkan rumpun Paleo-Hesperonesia (Hesperonesia Kuno) ini hingga ke Borneo timur, timur laut, termasuk para “gipsi laut” yang tersebar luas di Asia Tenggara (suku Baju, Bajo, Bajau, Sama-Bajau). Para gipsi-laut inilah, menurut arkeolog senior Wilhelm Solheim, sebagai keturunan-keturunan dari JKPMN atau Jaringan Komunikasi dan Perdagangan Maritim Nusantao. Sebagai salah satu budaya megalitikum terakhir yang masih bertahan di dunia, Batak mempunyai banyak sekali mitos dan legenda yang tergolong kompleks ibarat pohon yang menjulang tinggi ke langit dan mempunyai akar dan dahan yang cabang-cabangnya tidak terhitung banyaknya. Tetapi semuanya saling terkait seperti kalpataru atau jaringan sehingga, meski tidak terhitung lagi variasi-variasinya, semuanya mempunyai dasar yang sama yang sudah terbentuk jauh sebelum aksara di temukan dan di perlakukan, ketika para leluhur kita masih menggunakan ukir-ukiran, tari-tarian, permainan, tatoo, lagu, penuturan, musik, sebagai media penyimpan sejarah masa banjir-banjir purba. Salah satu media penyimpan yang di anggap terkuno adalah penggunaan benda-benda langit dengan angka (numeral) sebagai dasarnya. Di sebut Tikki atau Tingki (divisi waktu, jaman, masa), yang kemudian melahirkan Parhalaan dan Permesa atau astronomi dan astrologi yang menjadi alat bantu navigasi untuk berlayar, penentu musim tanam dan panen, kemudian berkembang lagi menjadi kalender. Karakter-karakter yang di gunakan baik di dalam mitologi maupun perbintangan sepertinya berdasarkan kehidupan sehari-hari seperti kerbau, kuda, ayam, telur, cacing, sungai, gunung, pohon, periuk, kelamin, masa kehamilan, masa kelahiran, dan banyak lagi lainnya. Waktu identik dengan siklus identik dengan simbol O atau cincin, gelang, bulan, bumi, cakrawala, dan waktu juga di simbolkan dengan sesuatu yang meliuk seperti sungai atau di sebut serpent. Serpent merupakan salah satu simbol mitologi tertua yang tersebar luas di seluruh dunia. Di ambil dari kata latin serpens yang artinya; “merambat”, “merayap”, “menjalar”, “merangkak”, “timbul pelan-pelan”, “maju perlahan”, sementara serpentine adalah sifatnya yang meliuk-liuk, berkeluk-keluk, berliku, melengkung, gemulai, melambai, menari, berombak, melilit, juga bersisik, seram, geli, besar, dan sejenisnya. Ular, ikan, sungai, api, ombak, nyiur melambai, belalai, tali-temali, adalah beberapa yang berhubungan dengan serpent. Ular di anggap sebagai simbol waktu karena keistimewaannya yang suka berganti kulit secara berkala, di artikan sebagai, regenerasi, pembaruan, pergantian jaman, tahun baru, dan kelahiran kembali. Kemudian ular juga di gambarkan sedang mengejar atau mengigit ekornya sendiri sebagai perlambang keabadian (Eternal Return) dan terdapat dalam mitologi seperti Nordik, Cina, Mesir, Yunani (Ouroboros), Aztek (Quetzalquatl), dan banyak lagi lainnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun