Sudah menjadi tradisi kemanusiaan kita, kalau penghujung tahun biasanya menjadi momentum refleksi. Siapa pun, entah remaja, dewasa, opa, oma, bahkan pun anak-anak. Kita semua diajak untuk berjalan menelusuri ruang-ruang waktu, sembari melihat apa dan bagaimana-nya kita dalam petualangan setahun ini.
"Merayakan penderitaan" terasa cukup konyol dilakukan, mana mungkin kita berpesta pora atas sebuah penderitaan dalam hidup? Kendati pun bukan diri kita yang mengalaminya, tetap saja tidak selayaknya dilakukan, bukan?
Jika kita menggunakan kacamata filsafat etika, maka merayakan penderitaan akan menjadi sebuah tindakan bodoh dan sia-sia.
Kalau begitu, kita ganti dengan perspektif stoikisme saja.
Dalam sejarah panjang perkembangan stoikisme, para filsuf modern banyak terinspirasi dari kisah hidup para stoic (terj: sebutan bagi orang-orang yang menerapkan stoikisme), yang berdasarkan ceritanya justru mereka mengalami penderitaan yang amat hebat.
Sebut saja Epitectus, semasa hidupnya dia justru mengalami penderitaan, sebagaimana statusnya sebagai seorang budak. Tentu saja Epitectus harus menghadapi berbagai tekanan dan tuntutan yang tidak biasa, dan mungkin saja lebih gila dari seharusnya.
Menariknya, Epitectus justru menjadikan kemalangan hidupnya sebagi ruang latihan memperkuat jiwa nya. Kalau saya menggunakan istilah porna di atas, maka bisa dikatakan Epitectus justru memaknai kehidupannya sebagai porna yang membentuk dan mencetaknya menjadi manusia kuat dan tangguh.
Perjalanan hidup yang penuh penderitaan justru tidak patut ditangisi dan membuat kita berduka sepanjang waktu. Kita hanya perlu menatapnya dengan jujur, dan mengakui bahwa kita memang terluka, kita memang patah hati, kita memang berduka,
Dee Lestari mengajak kita untuk jujur dengan perasaan, melalui lagunya (Berduka), katanya:
"Izinkan aku,
Biarkan aku,
Bersedih dan kehilangan mu,
Tanpa pura-pura,
Tanpa harus bisa kuat dan tangguh."
Dengan mengakui atas segala kesadaran bahwasanya kita memang rapuh, maka penderitaan selayaknya kita rayakan. Mengapa? Karena dengan jujur kita mengakui kelemahan itu, maka dengan jujur juga diri kita akan berupaya sedemikian rupa membalutinya, dan dengan begitu kita cukup puas mensyukuri hidup.
Mensyukuri Ketangguhan
Seorang sahabat saya bercerita tentang kehidupan asmaranya yang tidak berumur panjang. Menurutnya peristiwa itu membuatnya belum yakin untuk membangun hubungan lagi, tetapi beberapa waktu kemudian dia akhirnya menemukan seseorang yang membuatnya merasakan arti cinta yang sesungguhnya. Apakah arti cinta menurut nya? (lain kali menjadi bahasan disini). Intinya adalah dia menjadi terbuka dan lebih siap dengan hal baru dalam hidupnya, karena penderitaan yang lalu telah membuatnya belajar dan menjadi tangguh.
Pengalaman yang berbeda datang dari diriku sendiri.
Ketika setahun berlalu, beberapa sahabat sudah lulus dan menyandang gelar Sarjana Psikologi. Diwaktu yang bersamaan, saya masih pelan-pelan merampungkan tujuan-tujuan lainnya.
Apakah saya menderita?
Apakah saya merasa kehidupan berlaku tidak adil?
Tentu saja tidak!
Dengan percaya diri, saya menerima semua perjalanan ini sebagai bagian dari kehidupan yang patut saya rayakan dan syukuri. Akhir tahun ini sampai awal tahun baru, justru menjadi ruang perayaan dan ucapan syukur atas segala hal yang dilewati, karena saya akan mulai melakukan rangkaian penelitian skripsi; membuat alat ukur psikologis dan meneliti pada penjara anak alias LPKA.
Pada akhirnya dengan menyadari bahwa kehidupan kita sungguhlah rentan dan rapuh, maka kita pun akan terbuka dan jujur menerima segala keterbatasan itu sebagai pelajaran yang menguatkan.
Dengan begitu, kita akan semakin kuat dan tangguh, bukan dengan porna kekuatan Hulk, Thor ataupun Epitectus sang Stoic itu. Justru dengan kekuatan kita sendiri, maka kita akan merayakan penderitaan dan mensyukuri ketangguhan dalam hidup dengan puas dan merdeka.
Selamat mengakhiri 2022,
Selamat menjemput berkat-berkat kehidupan di 2023.
Selamat Merayakan Hidup.