Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Dilema Pemilukada di Indonesia (Bag. I)

16 November 2010   03:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:34 384 0
[caption id="" align="alignleft" width="184" caption="election_da01 by ~yip87"] [/caption] Demokrasi diyakini banyak pihak adalah sebuah jawaban bagi permasalahan umat, sebab diantara berbagai macam sistem pemerintahan yang lain demokrasi adalah yang terbaik diantara yang terburuk. Walaupun tidak sedikit pihak yang ragu terhadap kredibilitas sistem ini, seperti Lipset yang mengutip Schumpeter (1950) yang menyatakan bahwa demokrasi merupakan produk dari proses kapitalis[1]. Pendapat tersebut tidak dapat disalahkan, karena jika kita berkaca pada keadaan di Cina dan Kuba saat ini sebagai dua negara diktator, mereka  yang sangat maju sekaligus berpengaruh di dunia dan sangat berani menantang Amerika Serikat sebagai kiblat demokrasi di dunia. Indonesia saat ini masih mempercayai demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang sesuai dengan nilai falsafah pancasila dan selaras dengan UUD 1954. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat pesta rakyat 5 tahunan. Pemilihan umum. Semua orang sibuk, mulai dari penjabat teras hingga rakyat yang mengais – ngais beras. Para elit politik sibuk mempersiapkan diri mereka dengan menyembunyikan semua borok luka dimasa lalu dan merancang visi misi sakti nan puitis untuk merayu 260 juta rakyat di Indonesia. Rakyat pun sibuk dengan dirinya masing - masing, sibuk mencari politikus yang hendak membayar mereka untuk sorak – sorai di masa kampanye nanti. Ironis. Apakah ini yang dicita – citakan Pancasila dan UUD 1945 yang di desain dengan begitu kompleksnya oleh para founding father di era proklamasi dulu? Tak puas dengan Pemilu, kini ada Pemilihan Umum Kepala Daerah. Lalu apakah ini menjadikan proses demokrasi di Indonesia menjadi lebih baik? Belum tentu. Ada banyak kejadian  - kejadian di Pemilukada yang terdengar seperti cerita sinetron. Bayangkan, pada tahun 2008 terdapat  seseorang yang mencalonkan diri menjadi Bupati Ponorogo Jawa Timur yang “sempat agak miring otaknya”. Ia pernah lari dari Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Harjono, Ponorogo, hanya dengan memakai celana dalam. Ia juga pernah tiduran di trotoar sehingga menjadi tontonan warga, hingga akhirnya dinyatakan sehat hingga bisa diadili di Pengadilan Negeri Ponorogo atas dugaan penipuan dan penggelapan senilai Rp 2,9 miliar. Dan sangat besar kemungkinan bahwa itu adalah uang yang digunakan untuk pencalonannya[2].

Para elit politik sibuk mempersiapkan diri mereka dengan menyembunyikan semua borok luka dimasa lalu dan merancang visi misi sakti nan puitis untuk merayu 260 juta rakyat di Indonesia. Rakyat pun sibuk dengan dirinya masing, sibuk mencari politikus yang hendak membayar mereka untuk sorak – sorai di masa kampanye nanti.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun