Upaya mendapatkan tempat di SMA yang berkualitas bagi anak kedua saya telah maksimal diupayakan baik melalui test yang diselenggarakan oleh sekolah yang bersangkutan, maupun upaya "nitip" kepada teman yang kebetulan menjadi panitia penerimaan siswa baru, tentu dengan iringan doa dan "sedikit" ucapan terima kasih.
Untuk mempersiapkan anak yang bermasa depan cerah, khususnya anak pertama, saya dan istri telah berupaya mencari dana pinjaman kesana-kemari, karena sebagai PNS kalau hanya mengandalkan gaji ke 13 yang telah dikucurkan pemerintah tentulah masih jauh dari cukup. Namun semua upaya pinjaman rupanya belum mampu untuk mencukupi biaya pendaftaran yang dipersyaratkan oleh kampus tujuan, karena plafon pinjaman yang diberikan kepada saya ternyata tidak maksimal akibat sisa pinjaman sebelumnya yang masih bertumpuk. Menyesakkan dada memang, maksud hati ingin merubah tingkat kehidupan dengan menyekolahkan anak sebaik-baiknya namun apa daya ternyata biaya pendidikan di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini masihlah sangat mahal bagi staf jelata seperti saya ini. Kepasrahan senantiasa mencuat dalam keheningan malam saat pikiran ini melayang-layang ke negeri awan. Istri saya yang memang berfikir lebih peka selalu memberikan pengertian janganlah terlalu dipaksakan agar anak pertama saya kuliah pada tahun ini, tidak perlu dimasukin dulu ke perguruan tinggi kalau memang pelicinnya atau finansialnya belum mencukupi. Apa boleh buat, diskusi ini mengisi hampir tiap malam-malam hening kami, demi anak-anak kami agar kelak dapat bekehidupan yang lebih baik. Saya kira semua orang tua pastilah berfikiran sama dengan kami, hanya kemampuan masing-masinglah yang membedakannya. Tunggu tahun depan yaaa nak, siapa tahu orang tuamu mampu menyediakan dana untuk keperluan pendidikanmu...!