Kosa kata bahasa jawa yang berarti jalan-jalan atau pesiar ini sungguh sangat popular pada akhir-akhir ini, akibat tulisan banyak para pewarta di media. Dalam terjemahan bebas, tentunya versi saya, nglencer adalah jalan-jalan untuk "ngenggar-enggar penggalih" (refreshing) setelah jenuh dalam kesibukan sehari-hari. Maka saat para pewarta mengistilahkan kunjungan kerja dari Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang terhormat wakil rakyat dalam kunjungan kerja ke daearah lain dengan sebutan "ngtlencer", saya sangatlah tidak setuju, namun lain halnya kalau istilah itu hanya sebagai ungkapan "sindiran" kepada beliau-beliau yang menurut sebagian kalangan memang terlalu sering "tindak" (bepergian).
"Nglencer" yang "Gonjang-Ganjing"
Kunjungan Kerja para anggota Badan Kehormatan yang terhormat di Senayan sana telah membuat geger dan "gonjang-ganjing" sehingga berujung pada pergantian sebagian anggotanya. Konon katanya, dalam kunjungan kerja Bapak-bapak wakil rakyat tersebut, diselingi pula dengan "nonton bareng" acara Tari Perut di negara Timur Tengah (yang memang "pabriknya" tarian itu). Sebenarnya, tentu masih menurut pendapat saya, selingan acara hiburan disela kunjungan kerja yang memeras pikiran dan tenaga itu tentu menjadi hal yang wajar, sepanjang acara tambahan itu tidak "nyleneh" (tidak lazim), toh wakil rakyat juga manusia biasa yang perlu nuansa "seger-segeran" (pencerahan). Lha... soal acara tambahan nonton bareng pertunjukan Tari Perut itu sangat tergantung penilaian khalayak etis dan tidaknya kalau dilakukan oleh anggota Badan Kehormatan lembaga yang sangat dihormati di negeri ini.
Yakin: Kunker sambil nglencer bukan nglencer sambil Kunker
Kunjungan Kerja juga sering dilakukan oleh para anggota legeslatif di daerah untuk studi komparasi dan mencari bahan masukan guna pembahasan terhapap hal-hal yang dianggap penting, paling tidak demikian menurut penalaran saya yang awam. Dengan melakukan komparasi di kabupaten lain tentu kebijakan yang nanti dilegeslasi akan lebih berdaya guna dan terhadap masalah yang timbul akan lebih mudah diformulasikan solusinya, ini tentu masih dalam kerangka berfikir logis saya. Namun demikian kalau ada sebagian Bapak-bapak atau Ibu-ibu tatkala melaksanakan tugas untuk rakyat "nyambi" (sambil) rekreasi ya wajar-wajar saja, toh tugas pokoknya tidak terabaikan. Ketidak-laziman muncul apabila tugas pokoknya terkesampingkan namun yang diutamakan justru acara "tambahannya", sehingga yang muncul adalah istilah rekreasi sambil Kunker bukan Kunker sambil rekreasi.
Setelah puas berkunjung kesana-kemari dengan berbagai dalih, banyak kalangan menilai bahwa hasil berkomparasi ke banyak negara atau ke daerah lain hasilnya sangat tidak signifikan. Bahkan banyak kalangan pula yang menilai kalau kunjungan kerja itu tak lebih dari akal-akalan para yang terhormat untuk mendapatkan isi dompet yang lebih terhormat daripada sekedar menjadi calo kegitan/"proyek" yang bertebaran di ranah eksekutif atau menjadi calo jabatan bagi para calon pejabat untuk menduduki jabatan tersentu seperti halnya kasus cek pelawat yang telah membawa para terhormat itu pindah tidur di Lembaga Pemasyarakata. Padahal dengan menerima gaji bulanan, menurut awam, sebenarnya para yang terhormat itu lebih dari cukup. Ahhh...jadi ingat kata2 Bang Haji Rhoma....T ...E ...R...L...A...L...U...!!!