Para bapak bangsa kita: Tan Malaka yang buku tentanganya karya sejarawan Belanda Harry A. Poeze dilarang di bedah di Surabaya oleh FPI, Soekarno, Habibie, Gusdur dan seterusnya selain seorang negarawan ialah juga seorang penulis. Begitu juga dengan Seokarno, Hatta, Syahrir, Habibie, sampai Gusdur yang juga rajin menulis. Tulisan-tulisan mereka tersebar di berbagai media, jurnal, dan buku. Pemikiran-pemikiran mereka dapat terus kita nikmati untuk diambil saripati hikmahnya sekalipun mereka telah tiada. Celotehan-celotehan intelektualnya, sampai bumi ini hancur, dapat “diseruput” tanpa kenal waktu. Mereka ada dalam tiap-tiap kalimat tulisannya itu!
Karya tulisan seseorang (terutama yang diterbitkan baik berupa buku, media cetak, online, dst) merupakan alur pemikiran mendalam dan komprehensif atas suatu permasalahan sebagai bentuk sumbangsihnya terhadap masyarakat. Dengan tulisannya itu, bukan tidak mungkin, jalan pemikirannya akan dipakai untuk kepentingan banyak orang. Semakin sering dia menulis maka semakin banyak orang percaya bahwa dia seorang ahli berkaitan dengan hal yang ditulisnya.
Tak terhitung orang yang karena tulisan-tulisannya baik di media maupun buku dikenal masyarakat sebagai seorang ahli di bidang tertentu (sesuai dengan yang ia tulisnya), diundang ke acara-acara seminar, dijadikan narasumber. Pun, kini trennya, makin banyak politisi yang memang pada dasarnya membutuhkan publisitas supaya dikenal dan kemudian dipilih ketika pemilihan umum nantinya, menjadikan ruang media atau buku sebagai sarana untuk “pencitraannya”. Menulis memang akan memberikan efek berganda (multiflyer effect).
Kurangnya Kesadaran Literasi
Dalam konteks pada politisi, harus diakui memang belum banyak yang menyadari urgensi membangun citra diri lewat tulisan. Mereka masih memandang lebih penting menjual diri via baliho, spanduk, atau blusukan ala Jokowi dengan modal sembako atau bagi-bagi uang. Untuk kepentingan jangka pendek yang instan, menjual diri dengan cara seperti itu boleh saja memberikan hasil menggembirakan. Namun apakah mendidik masyarakat? Apakah kita tega terus-menerus mencekoki masyarakat dengan politik uang atau politik sembako ketimbang dengan politik intelektual atau politik ide?
Apa yang dilakukan politikus-politikus yang sadar literasi seperti Budiman Sudjatmiko, Anis Matta, Bambang Soesatyo, Marzuki Alie, Pramono Anung, dan lainnya merupakan hal yang ideal. Mereka rajin menulis di media massa nasional untuk memberitahukan jalan pemikiran atau gagasannya kepada masyarakat dalam membangun bangsa yang besar ini. Mereka dihargai sebagai politisi-intelektual yang lebih mementingkan gaya berpolitik-pencerdasan ketimbang banyak menghambur-hamburkan uangnya beriklan-alay hanya untuk mengatrol tingkat elektabilitasnya.
Sayangnya, jumlah mereka sangatlah sedikit. Tak sebanding dengan jumlah anggota dewan nasional yang 500-an lebih. Karenanya, diperlukan kesadaran kolektif bagi para politisi lainnya untuk juga menuangkan gagasan dan pandangannya sesuai dengan bidangnya sehingga akan terjadi pertarungan ide yang konstruktif. Betapa indahnya ketika suatu waktu politikus A mengeluarkan gagasan di koran A, kemudian gagasannya itu dikoreksi, dibantah atau bahkan dibantai oleh politikus B di koran yang sama. Pertarungan opini dan pencerdasanpun dapat terjadi.
Pertarungan ide secara tertulis tentu berbeda dengan debat kusir di media televisi yang biasanya hanya terjadi ketika acara tersebut ditayangkan. Perdebatan ide secara tertulis akan mudah memintakan pertanggujawabannya kepada si empunya ide karena ada arsip atau datanya yang mudah dijangkau (apalagi sekarang biasanya media-media menyimpan arsipnya secara online yang bisa diakses kapanpun dan dimanapun). Ketika ada politikus yang mengelak atau pura-pura lupa disaat dimintakan pertanggunganjawab atas segala statementnya yang dimuat media, maka masyarakat bisa menyodorkan data tulisannya tersebut.
Tak Ada Waktu atau Kurang Piawai Menulis
Yang terpenting ialah bukan kepiawaian dalam menulis—meskipun tak ada salahnya untuk jago menulis—melainkan keinginan untuk memikirkan posisi dan tugas-tugasnya sebagai pejabat atau wakil rakyat, yang kemudian dibagikan kepada masyarakat melalui media: koran, buku, website. Ada banyak anggota dewan atau politisi yang tidak punya waktu untuk menulis—karena memang menulis membutuhkan waktu yang panjang—atau kurang piawai untuk menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, namun nama mereka konsisten nangkring di media massa atau websitenya.
Hal itu dimungkinkan karena mereka memiliki staf ahli atau tim penulis yang membantu mengubah gagasan mereka dalam bentuk tulisan. Orang/ tim yang menuliskan segala pandangan atau gagasannya para politikus sehingga menjadi karya tulis yang runut, komprehensif dan enak dibaca disebut ghost writer. Posisi ghost writer sendiri legal asalkan dasar pemikiran atau inti gagasannya berasal dari si politikus atau orang yang memesan tulisan tersebut. Ghost writer tak ubahnya seperti penulis naskah pidato presiden, menteri atau kepala lembaga anu yang sudah jamak digunakan oleh para pejabat negara yang memang tidak memiliki waktu untuk menuliskan segala pemikirannya untuk disampaikan kepada publik.
Kontak kami:
0877-80538726 or 0821 1201 0188
Email: heryamedia@yahoo.com