Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1918 di Kauman Yogyakarta (8 Dzulhijjah 1313 H). dengan misi berupaya untuk memurnikan ajaran Islam yang pada waktu itu banyak dipengaruhi oleh hal-hal seperti Tahayul, Bid’ah, dan Churafat yang sering diistilahkan dengan TBC. Selain itu dalam dalam menjalankan aktifitasnya Muhammadiyah mengambil cara modern dalam upaya mewujudkan cita-citanya. Di awal perjuangannya itu Muhammadiyah mendapat tantangan yang luar biasa, karena dianggap meniru cara-cara orang kafir dalam hal ini penjajah Belanda.
Lambat laun cara modern yang diambil Muhammadiyah cukup menuai hasil, banyak aktivis Muhammadiah menjadi motor penggerak dalam perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Sepanjang perjalanan Muhammadiyah sampai saat ini boleh dikatakan cukup solid. Konflik internal dan “gangguan” ekternal yang dapat menggoyahkan roda organisasi dapat diminimalisir. Adanya perbedaan pandangan di antara pengurus Muhammadiyah dapat diselesaikan dengan cara yang cukup elegan.
Pada posisi satu abad boleh dibilang menggembirakan sekaligus mengkhawatirkan. Menggembirakan bahwa Muhammadiayah mampu bertahan dalam beberapa jaman. Mengkhawatirkan bahwan ada sebuah teori yang menyatakan bahwa satu abad merupakan puncak dari suatu peradaban. Nah inilah yang menjadi pertanyaan, apakah posisi satu abad ini merupakan suatu puncak perjalanan Muhammadiyah? Yang kemudian akan semakin menurun yang kemudian akan lemah bahkan hilang sama sekali. Ibarat bulan sudah sampai pada purnama yang kemudian akan semakin meredup. Ibarat manusia sudah berada pada masa bugar-bugarnya yang kemudian pada kilas balik akan semakin lemah karena tua atau renta.
o0o
Dalam teori yang dikemukakan Ibnu Kaldun dalam buku fenomenalnya “Muqaddimah” mengemukakan bahwa maju mundurnya peradaban suatu bangsa berlangsung selama satu abad, dan itu merupakan sunnatullah. Dari fase mulai awal tumbuh, berkembang, masa puncak, kemudian mengalami kemunduran yang berproses dari beberapa generasi.Yaitu, Pertama, Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang didukungnya. Kedua , Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. Ketika, Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa memedulikan nasib negara.Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu. Ketika suatu peradaban runtuh maka akan digantikan peradaban baru. Tahapan-ini kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus. Sumber
Jika suatu peradaban bangsa diibaratkan dengan suatu tataran yang lebih kecil seperti organisasi, Muhammadiyah misalnya, maka usia satu abad adalah semacam peringatan untuk bersiap-siap mengalami kemunduran. Pada tahapan generasi ketiga yang tidak mempunyai hubungan emosionil dengan organisasinya, maka mereka akan melakukan apa yang mereka sukai tanpa peduli nasib organisasinya. Gejala ini yang patut dikhawatirkan di Muhammadiyah pasca melewati masa satu abad ini.
Tanda–tanda kemunduran Muhammadiyah sebenarnya mulai terasa, sepertinya mengarah fase generasi ketiga. Saya sempat berdiskusi dengan sahabat saya yang cukup dekat dengan Muhammadiyah ini. Benih-benih keretakan, ketidakpercayaan antar pengurus mulai mencuat. Suasana muhammadiyah tidak seperti dulu lagi, yang guyup, kompak dan tulus ikhlas dalam berorganisasi. Dugaan sementara adalah godaan anggota Muhammadiyah yang berkiprah di dunia politik. Dan rupanya para kader yang berkiprah di politik praktis belum bisa bersikap “sekuler”, tidak dapat memisahkan dengan baik kepentingan partai dan organisasi.
Semenjak dibukanya era reformasi, di mana ranah politik tidak tabu lagi. Rupanya banyak para kader yang mencoba masuk dunia politik praktis ini. PAN yang didirikan mantan Ketum PP Muhammadiyah, Amien Rais, menjadi wadah bagi kader Muhammadiyah dalam berpolitik. Maka tidak salah bila Muhammadiayah diidentikkan dengan PAN. Rupanya kader Muhammadiyah belum dewasa dalam berpolitik yang penuh intriks, tipu daya, dan rekayasa. Energi kader banyak dihabiskan di dunia politik yang seharusnya berfokus pada bidang sosial, pendidikan, dan keagamaan.
Bulan madu antara PAN dan Muhammadiyah rupanya ada batasnya. Terjadi konflik internal yang terjadi di tubuh PAN, yang kemudian lahirlah partai sempalan Partai Matahari Bangsa (PMB). Rupanya PMB tidak mengakar ke rakyat dan massa Muhammadiyah sendiri. Warga Muhammadiyah cukup terjaga independensinya dalam menentukan pilihannya, dan tidak terpengaruh “ulah” para elitnya. Akhirnya kader muhammadiyah dalam urusan memilih jalannya sendiri, ada yang masih setia di PAN, beberapa di Golkar, Demokrat, PPP, PKS, Maupun PDI-P, dan beberapa gelintir ke partai baru, Partai Nasdem misalnya.
Tak pelak beragamnya pandangan politik kader Muhammadiyah membuat organisasi Muhammadiyah menjadi lahan untuk berebut pengaruh. Upaya yang dilakukan adalah menjadi pengurus di struktural terutama yang berada di pusat. Berlomba-lomba menjadi pengurus berakibat pada persaingan yang tidak sehatbahkan memalukan. Orang-orang muhammadiyah seakan tercabut dari akarnya, yang bersifat rasional, modern, dan humanis. Satu sama lain saling curiga karena personalnya dilihat dari latar belakang partai. Dan celakanya lagi hal ini sudah merambah pada tingkatan kaum mudanya. Sebagai khabar yang tidak sedap –mudah-mudahan ini salah- bahwa pengurus PP Muhammdiyah tidak akur dengan pengurus PP Pemuda Muhammadiyah.
Jaman telah berubah. Era saat ini merupakan era kemajuan Teknologi Informasi (IT),dibarengi pula dengan era kekebebasan berpolitik.Untuk itu Muhammadiyah harus bisa menyesuaikan arah kemajuan jaman itu. Muhammadiyah harus berbenah, paling tidak ada suatu kesadaran untuk lembali pada tujuan awal bahwa muhammadiyah merupakan organisasi sosial keagamaan untuk kesejahteraan bangsa dan negara.Muhammadiyah hendaknya tidak berpolitik tetapi tidak anti politik. Segala yang gesekan yang terjadi hendaklah dapat diambil pelajaran sebagai konsekwensi proses “akil baliq’ dalam berpolitik. Sikap kedewasan dan kenegarawanan harus diambil. Jika tidak apakah ini merupakan tanda-tanda proses surutnya Muhammadiyah setelah berada titik kulminasi. Dan di luar Muhammadiyah sana sudah banyak berkembang peradaban (baca: ormas) baru yang siap menggantikan ormas yang mulai menurun. Mudah-mudahan Muhammadiyah mampu bertahan, seperti slogan perayaan milad akbar 100 tahun ini, Sang Surya Tiada Henti Menyinari Negeri, Wallahualam bisawab.