Pada era tahun 80-an presepsi tentang pondok pesantren tidak begitu menggembirakan. Pesantren dianggap sebagai “buangan” bagi anak nakal –diharapkan orang tuanya- untuk dapat dididik agar menjadi orang yang baik. Karena dianggap hanya mempelajari ilmu agama maka pesantren tidak dapat diharapkan untuk tujuan masa depan. Anggapan yang kurang baik ini –atau dianggap salah- coba diluruskan oleh Ahmad Fuadi melalui novel Negeri 5 Menara (N5M) yang kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Di pesantren pun santri –sebutan bagi murid- dapat berkeinginan, bermimpi, ataupunbercita-cita setinggi langit walau dianggap khayal sekalipun.
Kisah ini bermula dari seoarang anak bernama Alif Fikri (Gazza Zubizareta) dari daerah pinggiran Danau Maninjau di Minangkabau. Ia mempuanyai cita-cita seperti Habibie sama dengan sahabatnya Randai (Sakura Ginting), untuk itu mereka bermaksud masuk sekolah umum (SMA) setelah itu melanjutkan ke ITB di Bandung. Sayang keinginan Alif di tentang amaknya (Lulu Tobing) yang berkeinginan agar anaknya menjadi ulama seperti Buya Hamka, dan pilihannya adalah masuk pondok pesantren. Pada mulanya Alif menolak dan pada akhirnya dengan setengah hati menuruti kemauan amaknya itu.
Pilihannya adalah pesantren Pondok Madani (PM) -atas rokemendasi pamannya- yang berada di Ponorogo Jawa Timur. Dengan diantar ayahnya (David Chalik) berangkatlah Alif dengan naik bus menuju tempat belajar yang diinginkan amaknya itu. Sampai di PM ternyata banyak juga yang ingin belajar di sana, akhirnya Alif pun lulus ujian masuk PM. Santri yang berhasil masuk termasuk Alif wajib tinggal di asrama yang telah disediakan, di sana ia bertemu dengan santri yang lain Baso (Billy Sandy) dari Gowa, Atang (Rizky Ramdani) dari Bandung, Said (Ernest) dari Surabaya, Raja (Jiofani Lubis) dari Medan, dan Dulmadid (Aris Putra) dari Sumenep. Persahabatan mereka tambah erat saat keenamnya terkena hukuman jewer beruntun karena terlambat masuk masjid akibat mengangkat lemari yang akan dibawa ke asrama.
Di hari pertama belajar Alif dan para santri yang lain terkesima dengan kalimat yang diteriakkan sang guru Ustad Salman (Donny Alamsyah) yang kemudian turut diikuti secara bersama: Man jadda wadaja, yang artinya kurang lebih “siapa yang bersungguh sungguh akan berhasil”. Mantra itu yang semakin diperjelas dengan contoh yang diilustrasikan Ustad Salman dengan membawa sebilah pedang yang tumpul dan sepotong kayu. Lalu Ustad Salman mengayuhkannya dengan sekuat tenaga, terus menerus dan akhirnya patah juga kayu itu. Melalui ilustrasi itu aplikasi man jadda wajada dijelaskan agar mengena, bahwa dengan pedang yang tumpul jika dilakukan dengan sekuat-tenaga dan sungguh sungguh walau kayu itu keras akan patah juga. Dalam managemen modern walau terdapat kekurangan (pedang tumpul) jika dilakukan dengan sungguh-sungguh akan menuai sukses.
Dalam PM itu di terapkan disiplin ketat, mulai dari waktu bangun tidur, makan, sholat belajar, sampai tidur sudah terjadwal dengan rapi. Para santri pun diwajibkan menggunakan bahasa Arab dan Inggris, “haram” hukumnya jika menggunakan selain kedua bahasa tersebut. Selain itu santri dilarang nonton televisi, segala informasi yang telah diberikan telah disensor,dan dilarang berhubungan dengan lawan jenis apalagi pacaran.Semua disiplin tersebut disertai dengan aturan yangtegas, siapa yang melanggar akan ditindak dan ada hukumannya dan tidak pandang bulu. Hukumannya mulai yang ringan, dijewer seperti yang terjadi pada Alif dan teman-temannya, jika agak berat dibotakin sampai pada hukuman yang terberat: dikeluarkan dari pondok. Semua dilakukan dengan tujuan untuk mendidik agar taat pada aturan serta penegakan hukum (law enforcement).
Melalui film tersebut dapat dilihat bahwa PM tidak lah alergi dengan kemoderenan dan unsur barat, para santri memakai celana, para ustad memakai dasi, pada saat-saat tertentu juga memakai jas. Tidak itu saja Kyai Rais (Ikang Fauzi) pimpinan pondok bahkan ikut main band dan bernyanyi. Pendidikan yang yang diberikan juga seimbang antara jiwa dan raga, di sana para santri mengikuti ekstra kulikuler pramuka, bebas memilih olah raga yang senangi ada sepak bola, bela diri silat, dan bulutangkis. Maka dengan tujuan inilah yang sering diistilahkan dalam bahasa latin mens sana incorpore sano, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat, suatu kondisi yang ideal.
Di sela-sela waktu senggang sambil menunggu magrib mereka berenam sepakat berkumpul di menara masjid, saking seringnya mereka dijuluki sohibul menara (pemilik menara). Di sana mereka merajut mimpi, sambil menengadah ke atas melihat awan mereka menggambarkan negeri yang menjadi favoritnya, mereka ingin sampai di sana tidak hanya sebatas cerita atau bacaan belaka. Bagi Alif ingin menuju benua amerika, Raja ingin sampai ke eropa, bagi Atang dan Baso asia dan afrika dalam hal ini negeri timur tengah yang ingin dituju. Sebagai penyeimbang Said dan Dulmajid menganggap negeri sendiri tempat kaki berpijak untuk tujuan berjuang dan berbuat baik. Sekedar bersendau gurau mereka berjanji akan bertemu kelak dengan foto di negeri impiannya itu.
Sebagai pemanis film ini ini juga dibumbui kisah romantis ala pesantren, lebih tepatnya cinta monyet Alif kepada Sarah (Eriska Rein), keponakan Kyai Rais. Boleh dibilang namanya perempuan adalah barang langka di pondok ini, sekedar berhubungan saja tidak boleh apalagi pacaran. Dari sekian santri, Alif termasuk yang beruntung dapat bertemu dengan Sarah karena “memanfaatkan” posisinya sebagai jurnalis di Majalah Syams.
Memang boleh dibilang antara versi novel dan film terdapat perbedaan, baik jalan cerita, penokohan, ataupun situasi tempat. Terdapat pengurangan, penambahan, dan sedikit improvisasi. Dan hal itu sesuatu yang lumrah, sama juga terjadi pada novel yang lain seperti Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, ataupun Sang Pencerah, produksi Hollywood pun juga mengalami hal yang sama. Asalkan tidak mengurangi tujuan dan subtansi cerita. Seperti yang diutarakan Ahmad Fuadi ketika mengisi Blogshop N5M Kompasiana di Surabaya beberapa waktu lalu (17/03), yang menyatakan bahwa ibarat novel dan film itu seperti buah jambu dan jeruk, sama-sama mengandung vitamin C.
Pada akhirnya impian mereka menjadi kenyataan setelah berlelah-lelah berusaha dan berserah diri pada Yang Kuasa. Alif, Raja, Baso, dan Atang berhasil menjelajah negeri sesuai impiannya dulu di bawah menara masjid PM. Alif yang menuju PM dengan setengah hati sebagai jurnalis di Washington DC, Raja bekerja di London, Baso yang di tengah jalan meninggakan PM karena harus merawat neneknya kuliah di Makkah, Atang kuliah doktoral di Mesir. Sedangkan Said dan Dulmajid masih di negeri yang dicintainya Indonesia dengan mendirikan pondok pesantren. Pesan dari Novel dan Film N5M boleh dibilang cukup mengena karena berlatar belakang kisah nyata, sehingga perjalanan kisah dapat dijadikan bukti yang menyakinkan untuk dapat dijadikan inspirasi.
Di pondok pesantren inilah sebagai “kawah candradimuka” menggembleng para santri untuk menjadi orang besar seperti yang diamanatkan Kyai Rais. Dalam pendidikan yang menggabungkan konsep kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Tidak saja mengandalkan kecerdasan dan kepandaian saja, juga sikap sabar, pantang menyerah disertai dengan doa dan keimanan. Tuhan maha pendengar dan bersama orang yang berusaha. Mereka yang datang dari kampung dengan ekonomi pas-pasan berani bermimpi walau pada waktu itu hanya angan belaka dan tidak tahu cara merealisasikannya. Dengan mantra man jadda wajada, mereka yakin dan berani membela yang dicita-citakan itu. Bahkan melebihi apa yang dicita-citakan dulu, mereka mencicipi khazanah ilmu serta menjelajah beberapa negeri dan mengujungi menara ataupun monumen, tidak hanya lima menara tetapi banyak menara.