Wong cilik yang sering dipresepsikan sebagai kalangan yang merana, susah (baca:miskin), tertindas, dan terpinggirkan (marjinal). Mereka selalu menjadi isu “jualan” oleh para bakal calon pejabat negara (eksekutif dan legislatif) untuk memperoleh simpati. Tapi pada kenyataannya –setelah mereka jadi- tidak seindah janji-janji yangpernah dikataka, hanya sekedar menjadi omong kosong. Wong cilik tetap pada kondisi asalnya tanpa ada perubahan berarti, para pemimpinnyabisa jadi lalai atau justru “bingung” menyelesaikan berbagai persoalan wong cilik yang begitu rumit dan kompleks.