Tekad kuat Indonesia untuk membebaskan diri dari ketergantungan impor  pangan. Indonesia mau tidak mau harus kembali Indonesia di jaman Soeharto dimana sektor pangan menjadi program prioritas. Jaman Orde Baru justru membuktikan Indonesia berhasil swasembada pangan terutama padi.
Pada waktu itulah Indonesia berhasil melakukan ekspor beras . Dikutip dari Badan Pusat Statsitik (BPS), Indonesia sempat tidak mengimpor beras sama sekali pada 1985-1986. Pada tahun itu, Indonesia justru mengekspor beras masing-masing 106.000 ton pada 1985 dan 231.000 ton pada 1986.
Setahun kemudian ekspor beras mencapai jumlah tertinggi, yakni 231.000 ton. Setelah ini ekspor meredup, tidak pernah lagi di atas 100.000 ton dan yang terjadi justru Indonesia kian parah menjadi impor beras terbesar di dunia.
Jumlah beras yang diimpor sangat  fantastis. Berdasarkan catatan Bulog, impor yang sudah terealisasi mencapai hampir 3 juta ton. Impor tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Impor beras itu bervariasi dari berbagai negara, tercatat RI mengimpor beras dari tiga negara Asean dengan jumlah yang besar mencapai jutaan ton, yakni Thailand sebesar 1,04 juta ton, dan Vietnam mencapai 1,02 juta ton, Myanmar sebesar 451 ribu ton serta luar Asean yakni Pakistan sebesar 388 ribu ton.
Mengapa pada akhirnya Indonesia menjadi negara importir beras, sedangkan Indonesia negara agraris dengan porsi penduduk tinggal pedesaan mata pencaharian sebagai petani?
Pertanyaan selanjutnya , sejauh mana keterlibatan pemerintah dalam mendukung sektor pangan, masalah apa yang dihadapi petani Indy, apa yang sudah diperbuat untuk meningkatkan kesejahteraan petani, memungkinkan Indonesia kembali lagi meraih swasembada  pangan?
Petani Selalu Menjadi Korban
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2022, dari 135,3 juta penduduk yang bekerja, 29,96% persennya bekerja di sektor pertanian. Data angka tersebut menginformasikan kalau jumlah petani negara kita mencapai 40,64 juta orang. Sementara jumlah petani pengguna lahan pertanian di Indonesia sebanyak 27.802.434 petani, sedangkan jumlah petani gurem di Indonesia sebanyak 17.251.432 petani.
Selama ini, petani hanya dijadikan korban kebijakan ketimbang pihak yang sejahtera. Setiap kali pembahasan obyek pangan, petanilah sebagai sumber perhatian. Hanya saja berbagai situasi dan juga kondisi tidak banyak memihak ke petani.
Kesabaran dan keimanan menjadi petani nyaris habis. Â Petani akhirnya mengalami kesialan yang berlapis ketika madsa produksi dan panen. Mafia pupuk hingga jarang didapatkan di pasar. Petani hadusnya menerima pupuk subsidi, namun ternyata harus membeli lebih mahal.
Mafia Pupuk
Sebenarnya ketersediaan pupuk subsidi sangat cukup. PT Pupuk Indonesia (Persero) siap menyalurkan 9,55 juta ton alokasi pupuk bersubsidi di tahun 2024. Hal ini menyusul telah diterbitkannya Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 249 Tahun 2024 dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 01 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Permentan Nomor 10 Tahun 2024.
Hanya saja, sudah menjadi omongan umum jika distribusi pupuk ke petani menjadi lahan basah untuk  para mafia. Padahal tugas distribusi pupuk wajib dilakukan oleh pemerintah melalui anak perusahaan Pupuk Indonesia. Pupuk Indonesia selaku BUMN penerima mandat untuk memproduksi dan mendistribusikan serta menyalurkan pupuk bersubsidi kepada petani terdaftar.
Seperti diketahui, pemanfaatan pupuk bersubsidi ini diperuntukkan bagi petani yang melakukan usaha tani subsektor tanaman pangan seperti padi, jagung, dan kedelai, subsektor tanaman hortikultura seperti cabai, bawang merah, dan bawang putih, dan subsektor perkebunan seperti tebu rakyat, kakao, dan kopi. Adapun jumlah pertanian yang dicover dengan luas maksimal 2 hektar termasuk di dalamnya petani yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tengkulak Meralela
Etalase kemiskinan di lahan pertanian kian menjadi kenyataan. Belum penderitaan berakhir, petani harus gigit jari ketika musim panen raya tiba. Permainan tengkulak nyata telah melukai dan juga memperparah kondisi sosial -ekonomi masyarakat. Petani banyak yang terjerumus ketika harus melakukan proses hingga massa panen.
Keterbatasan modal Petani harus mengambil dana dari tengkulak atau pengijon. Petani diberikan uang atau juga bibit, pupuk dan juga peralatan pertanian. Pada akhir panen, petani harus berbagi hasil dengan tengkulak.
Ketika panen, sebenarnya petani hanya menerima pembagian paling kecil. Biaya untuk produksi dan tenaga kerja harus dikembalikan ke tengkulak. Karenanya petani hanya pasrah ketika hasil panen nnya hanya di tukar dengan jumlah uang minum. Tidak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan petani. Ini menjadi bagian persilangan masalah antara keterpurukan petani dan kesejahteraan tengkulak. Feodalisme di lahan pertanian dalam bentuk ketidakberuntungan petani tetap berada di pihak yang dijajah.
Panen Raya Harga Anjlok
Harga murah saat panen raya adalah momok paling menakutkan bagi petani. Disaat puncak panen, justru harga serentak turun. Petani akhirnya harus menjual  hasil panen sesuai hukum pasar.
Kondisi tragis petani  untuk sekian kal di saat Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) maupun harga Gabah kering giling (GKG) begitu rendah, Harga Eceran Tertinggi (HET) beras premium malah begitu tinggi.
Selama ini yang jadi masalah adalah ketika para petani menjual hasil panen, NilaibTukar Petani selalu di bawah HPP. Artinya petani akan sekali rugi, biaya produksi tidak sebanding dengan harga jual yang diterimanya. Ini terjadi karena seluruh hasil panen dimonopoli atau dikuasai oleh para oknum tengkulak, mereka seenaknya memberikan harga kepada para petani.
Secara ekonomi klasik, harga gabah turun dikarenakan oleh hukum pasar. Salah satu faktor utama yang memengaruhi penurunan harga gabah adalah peningkatan pasokan di pasar lokal menjelang panen raya. Jadi kondisi suplai gabah yang meningkat mengakibatkan penurunan harga dikarenakan surplus stok di pasaran.
Nilai Tukar Petani
Kondisi kesejahteraan petani Indonesia tidak senyaman dan sejahtera dibandingkan dengan negara lain. Petani Indonesia dihadapkan banyak masalah baik dari segi tehnis dan tata kelola kebijaksanaan pemerintahan.
Salah satu untuk mengukur kesejahteraan petani dengan  menggunakan metode penghitungan Nilai Tukar Petani ( NPT).
NTP merupakan salah satu indikator yang berguna untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani karena mengukur kemampuan produk (komoditas) yang dihasilkan/dijual petani dibandingkan dengan produk yang dibutuhkan petani baik untuk proses produksi (usaha) maupun untuk konsumsi rumah tangga petani.
 NTP dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut NTP = IT/IB X 100 %. Indikator NTP dinyatakan dalam pengertian yaitu NTP > 100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya.
Di tengarai jika salah satu komponen penting kesejahteraan petani adalah kelayakan hasil panen mereka dihargai dengan harga tinggi. Kemudian petani mendapatkan  garansi harga hasil pertanian dan juga keberlanjutan kebijakan pemerintah ke petani. Ketiga komponen tersebut bisa dikatakan akan meningkatkan NPT para petani Indonesia secara keseluruhan.
Harga Naik
Melalui Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan atau Zulhas berjanji pemerintah melalui Bulog bakal membeli gabah dari petani sebesar Rp6.500 saat musim panen tiba.
Kebijakan Menko Pangan beriringan atau sejalan dengan arahan dari Presiden Prabowo agar harga gabah tidak anjlok saat musim panen raya.
"Pesan dari Bapak Presiden Prabowo, kemarin malam, jangan sampai jelang panen raya gabah harganya jatuh di Bawah Harga yang sudah ditetapkan pemerintah yakni Rp 6.500," kata Zulhas saat melakukan Kick Off Panen Raya di Seri Menanti, Banyuasin, Sumatera Utara, dalam keterangannya, Senin (13/1/2025).
Ketua Umum PAN tersebut mengatakan bahwa panen raya sendiri diprediksi akan berlangsung pada awal Februari 2025. Nantinya, puncaknya akan berlangsung pada Maret hingga April mendatang.
Bersyukur sekali ketika Menko Pangan Zulkifli Hasan sangat peduli dan beritikad baik untuk mengangkat pendapatan petani dengan menaikkan harga komoditi pertanian. Â
Melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) memberlakukan fleksibilitas bagi Perum Bulog untuk harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) di tingkat petani, menjadi Rp6.000 per kilogram (kg) dari yang sebelumnya Rp5.000 per kg. Bulog yang akan membeli beras langsung gabah ke petani.
Untuk jagung, Zulkifli menyampaikan bahwa
pembelian jagung dengan HPP Rp5.500/kg dimulai pada 1 Februari 2025 Â karena akan mulai panen bulan Februari maka jagung akan mulai dibeli 1 Februari 2025.
Politic Will Pemerintah
Dengan demikian, Zulkifli Hasan sudah menjawab menyelaraskan masalah yang dihadapi oleh petani hingga pada akhirnya terjadi kesepakatan pemahaman. Produksi  Petani wajib dihargai dengan memberikan jaminan harga. Dengan demikian, petani sudah tahu harga yang dipatok oleh pemerintah.
Melalui Bulog pemerintah wajib membeli dengan harga yang disepakati. Inilah solusi membahagiakan bagi Petani Indonesia, harga dan jaminan pembelian dari pemerintah menjadi pintu yang cerah menuju kesejahteraan petani yang sesungguhnya.  Dapat dikatakan politic will  pemerintah akan memberikan dampak signifikan kenaikan! Nilai Tukar Petani (NPL)