Mohon tunggu...
KOMENTAR
Analisis

Pilkada dan Pragmatisme Demokrasi

29 Juni 2024   21:23 Diperbarui: 29 Juni 2024   21:36 74 1
Rakyat lebih memilih untuk diberikan pesta daripada media tanya jawab yang disuruh untuk berfikir. Pesta tentunya butuh biaya besar apalagi menyangkut sebuah rangkaian perebutan kekuasaan. Tidak ada pencapaian kekuasaan yang gratis dan saat ini mitos demokrasi sudah diambil alih rekening gendut.

Mau tahu biaya politik untuk bisa maju sebagai bagian kontestan Pilkada di tingkat kota dan kabupaten? Bisa membayangkan berapa  ratus juta atau berapa puluh milyar rupiah yang dibutuhkan? Dari mana biasanya sumber keuangan dana Pilkada di peroleh seorang kandidat?

Sebagai Mantan Ketua DPD PAN Kabupaten Cirebon Saya banyak berteman dengan  elite partai lokal dan ada sedikit akses dengan ketua umum atau sekjen partai  walau saat ini sudah tidak berada di kepengurusan pantai. Namun setidaknya mendapatkan akses informasi dan juga banyak penawaran manjadi bagian calon peserta Pilkada ataupun sebagai tim sukses dari salah satu kandidat.

Saya paham betul jika dalam meraih kekuasaan melalui politik baik untuk menjadi ketua partai, caleg ataupun bagian calon pemimpin daerah wajib mempunyai dukungan finansial yang melimpah. Sukses meraih kemenangan politik lebih rumit dibandingkan dengan meraih kesuksesan berbisnis.  Karena Saya juga pebisnis bisa menyimpulkan bahwa kesuksesan dalam politik tidak manusiawi dan di luar aspek profesional.

Problematika sangat liar dan kompleks. Dari biaya politik tidak terukur, tidak adanya sistem pembukuan keuangan yang jelas dan yang paling penting tidak adanya kepercayaan dan tanggung jawab baik secara individu ataupun organisasi. Meraih kekuasaan politik seperti halnya berkelahi secara bar bar di hutan belantara. Hukum rimba adalah sebuah kewajaran. Dalam bahaya kuno dikatakan untuk meraih dan menduduki kekuasaan memang dihalalkan melakukan berbagai caracara,  melupakan etika dan moral hal wajar.

Biaya Politik

Jika melihat peta politik dalam pemilihan kepala daerah secara umum ditemukan bahwa rekomendsasi partai akan secara otomatis diberikan kepada ketua partai daerah yang sudah tercatat sukses memenangkan pileg . Secara khusus rekom DPP terhadap calon kepala daerah diberikan sebagia hadiah.

 

Namun demikian timbul masalah baru bagi seorang Ketua Partai di Daerah gagal untuk menyediakan dana atau anggaran untuk biaya politik dan juga biaya rekomendasi DPP. Artinya DPP tetap saja meminta sejumlah dana untuk disetorkan ke DPP bisa diartikan biaya rekom atau juga biaya dana partai. Jadi persetujuan DPP ke Ketua Partai tidak merta gratis.

Yang sangat mengerikan jika calon kontestan pilkada bukan dari ketua partai atau kader internal. Kontestan bakal menemukan kerumitan yang kuat biasa baik dari persyaratan administrasi dan juga jumlah biaya politik yang akan ditanggungnya.

Untuk mendaftarkan diri sebagai kandidat, harus memenuhi syarat dasar yang harus diurus di kantor partai daerah. Timbulnya banyak macam kendala birokrat yang sengaja dibuat untuk menjadikan kandidat keluar banyak dana. Kandidat harus mempunyai gerbong atau makelar politik yang teruji agar tidak salah langkah dan menghamburkan banyak biaya. Disinilah ujian berat bagi kandidat dari umum. Siap untuk berurusan birokrat partai, calo atau mafia politik.

Hanya Omon -omon

 Pengamatan politik pilkada mengambil sampel di Kabupaten Cirebon. Perlu diketahui jika banyak parpol politik lokal sudah menutup pendaftaran calon peserta pillkada dan banyak partai sedang memproses administrasi calon peserta pilkada. Yang menjadi pernyataan adalah belum adanya calon yang sudah bulat maju sebagai salah satu kandidat. Jika ada partai yang memberikan surat rekomendasi pencalonan, itupun akhirnya mentah serasa mengambang karena kandidat tersebut tidak siap terutama berhubungan dengan ketersediaan anggaran.

Bisa dikatakan jika kandidat yang sudah pegang rekom partai bisa lepas atau dijual kw kandidat lainnya. Kandidat pilkada masih akan berubah-ubah sepanjang proses negosiasi politik berkaitan anggaran belum menemukan titik temu.

Dalam kasus kandidat peserta pilkada di Kabupaten, Saya melihat bahwa ketidaknyamanannya peserta pilkada lebih didominasi oleh ketidaksiapan anggaran yang akan dibutuhkam. Kandidat hanya sebatas omon -omon dan lebih bayak melakukan manuver politik pencitraan ketimbang mereka menyakinkan diri secara finansial berkecukupan.

 Sampai saat ini disimpulkan belum ada satu orang pun bakal calon bupati yang memiliki kemampuan untuk membiayai ongkos politik Pilkada.

Rekening Gendut

Belum adanya sinyal kepastian kandidat peserta pilkada yang diusung partai atau koalisi partai dikarenakan faktor tingginya biaya politik yang harus dipukul. Pada pemilihan kepala daerah yang dipilih langsung rakyat menjadikan Pilkada berbiaya sangat mahal ditambah mahar atau sumbangan untuk sebuah rekomendasi tidak gratis. Itu yang mencakup bagaiamana pendaftaran peserta pilkada masih minim kandidat yang pasti.

Menjadi catatan wajib bagi kontestan pilkada, jika Calon Bupati tidak cukup mengandalkan keinginan tapi harus punya duit artinya mapan finansialnya, rekom parpol calon bupati tidak gratis dan biaya politik.

Besaran biaya politik yang harus ditanggung pasangan calon bupati atau walikota disetiap daerah berbeda-beda. Ia memprediksi dengan jumlah pemilih dan luas wilayah di Kabupaten Cirebon pasangan calon bupati dan wakilnya harus merogoh kocek 60 sampai dengan 100 miliar untuk meraih kemenangan.

Ini wajib dimengeri semuacalon bupati dan wakil harus merogoh kocek puluhan miliar sebagai sumbangan pada parpol untuk sebuah rekom dan menanggung semua biayai politik lainnya selama pilkada.

Jangan GR dulu bagi kandidat yang sudah pegang rekomendasi dari DPP atau yang mengaku petugas DPP, sekedar mengingatkan calon bupati yang sudah mendapatkan surat penugasan hanya mengandalkan popularitas tapi minim modal untuk mencari pendamping atau calon wakilnya yang memiliki kemampuan finansial yang memiliki isi rekening gendut.

Kuda Hitam

Dalam kondisi saat ini masyarakat sedang menunggu siapa kuda hitam calon bupati atau wakil bupati yang mapan finansial, urusan popularitas dan elektabilitas bisa diganti isi rekening. Yang dibutuhkan saat ini adalah pesta dan terus berpesta. Rakyat lebih gemar berpesta daripada disuruh berfikir.

Bagi kandidat yang bisa menyelengarakan pesta mereka yang akan diarak, dielu-elukan dan disambut meriah. Diakhir pesta tersebut kandidat wajib menggelontorkan amunisinya menjelang pilkada dilakukan. Dan karenanya Saya berfikir bahwa pada akhirnya akan muncul Kuda Hitam yang sangat suka berpesta dan memang punya banyak rekening gendut untuk bisa membahagiakan rakyat dan juga membayar rekomendasi partai serta siap belanjakan biaya politik yang tak terhingga.
 
Betul adanya jika semagat pilihan langsung kepala daerah akan menangkan oleh si Kuda Hitam dengan sejumlah rekening gendut nya. Runtuhnya demokrasi bukan hanya sudah terjadi di saat dilaksanakan Pilpres atau Pileg. Pada akhirnya demokrasi telah sekarat dan terbunuh dalam berbagai jenjang yang terselubung dalam sebuah pesta demokrasi yakni Pemilu.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun