Ia turun ke bumi atas perintah Tuhan. Untuk mengabulkan tiap-tiap doa yang manusia panjatkan. Senang bukan main ia melakukannya. Sebab dapat jadi perantara untuk makhluk kesayangan Tuhan. Sebelum ia tahu seberapa menjijikkan manusia itu.
Saat itu hari tengah hujan deras. Orang-orang berkurung diri di rumah. Jalanan sepi, yang berteduh di pinggir jalan juga tidak ada. Sebab sudah lewat tengah malam. Kecuali seorang pria gondrong yang janggutnya sama tebal dengan rambutnya.
Pria itu pengangguran. Orang gagal, sarjana sial, sampah masyarakat, bahan caci tetangga, aib keluarga, dan macam-macam lagi julukannya. Padahal tidak seburuk itu, si malaikat sudah tahu seluk-beluk tentangnya.
Saat sekolah, ketika temannya sibuk berpetak umpet, si pria sibuk menghafal rumus. Saat temannya hanya bermain bola di luar, di pria sibuk melatih tubuh sesuai isi buku teks olahraga. Di kala temannya menongkrong di kafe, si pria duduk sendiri dengan mata dan jari yang fokus di laptop, sambil menyeruput kopi berkali-kali.
Ke mana pun sudah melamar kerja, mau jadi tukang sapu rumah sakit, butuh pabrik, admin kantor, atau promotor telepon genggam. Tidak satu pun dari semua itu dia diterima. Apa yang salah? Kepalanya? Dia pelamar dengan nilai rapor tertinggi. Sikapnya? Dia berhasil membuat ayah dan ibunya tak pernah marah sekali pun, bahkan jika dia pengangguran. Penampilannya? Dia bisa jadi model majalah kalau punya koneksi.
Ketika hari telah larut malam dan orang-orang mulai tidur, dia akan keluar dari rumah. Berjalan sendirian ke dalam kegelapan berselimut lampu kuning. Hari itu sialnya hujan turun. Dia tidak berteduh, melainkan bersujud di atas tanah basah.
Kakinya dirayapi lumpur, matanya dihinggapi air hujan sampai merah. Dia menyunggingkan senyum sambil meneteskan air mata. Tertawa lalu menangis. Habis itu tertawa lagi dan menangis lagi. Berulang-ulang sampai akhirnya dia membuka mulut.
"Kenapa, Tuhan? Sudah tak terhitung lagi di jari tangan dan kakiku, berapa kali aku melamar. Tak terhitung saudara dan teman yang kudatangi. Tak peduli berapa kali kuingin berdagang. Tak habis pula aku gagal sebelum dapat bekerja." Suaranya menyelinap masuk di tengah derasnya hujan. "Kumohon, Tuhan, berilah aku pekerjaan, tak peduli apa pun itu, selagi tak melanggar perintah-Mu, aku mau."
Barangkali sudah tak sanggup dia makan bersama ayah dan ibunya. Tak sanggup dia berpapasan dengan tetangga. Tak sanggup dia diundang teman sekolahnya dulu. Sampai-sampai makin lama dia menganggur, makin habis pula asanya.
"Sebab itulah saya ditugaskan Tuhan. Sungguh pria malang, Tuhan telah memberi ujian yang berat," kata si malaikat dalam lubuk hatinya yang dalam itu.
Atas izin Tuhan, si malaikat mengabulkan doa pria itu. Bersamaan dengan turunnya tetes hujan terakhir, satu dari kian banyaknya perusahaan, mengirimi pria itu pesan. Dia diterima bekerja.
Sejak itu dia tidak pernah berhenti berdoa pada Tuhan. Supaya pekerjaannya lancar, supaya orang-orang baik padanya, supaya gajinya makin naik, macam-macam. Tidak pernah pula si malaikat berhenti mengabulkannya. Bertahun-tahun lamanya.
"Tuhan, kumohon naikkan jabatanku sebelum tahun ini berakhir," pinta si pria lagi.
Ketika si malaikat hendak mengabulkan, Tuhan menyuruh berhenti. Dari lubuk hati yang paling dalam, si malaikat ingin terus pria itu bahagia. Apa daya, ia seorang malaikat, perintah Tuhan adalah mutlak.
"Saya begitu ingin dia tambah bahagia dengan jabatan yang naik. Namun, tanpa izin Tuhan saya akan merelakan." Si malaikat menahan keinginannya.
Tidak naik juga jabatannya tak peduli seberapa banyak dia berdoa, si pria kembali berjalan-jalan di tengah malam. Langit kala itu mendung, tetapi tak turun hujan. Dia berpapasan dengan atasannya. Lalu terpikirkan sebuah jalan di kepalanya. Dia sadar lidahnya harus selalu basah. Agar mudah baginya untuk menjilat.
Tak peduli mau bagaimana caranya, dia mencari cara agar dekat dengan atasan. Ketika cuti, dia membawa buah tangan lebih banyak untuk atasannya dibanding ibu dan ayahnya. Setiap hari dia akan memasang mata dan telinga pada rekannya. Apa-apa yang bisa dilaporkan, langsung menuju telinga atasan. Mau sekecil apapun kesalahan rekannya, agak dibesar-besarkan sedikit olehnya.
Hidupnya kini didedikasikan untuk para atasan. Segala macam pinta atasan dia laksanakan. Mau Iyu membengkakkan pengeluaran kantor, mau itu menutupi kesalahan atasan, semua dibuatnya. Sampai usahanya membuahkan hasil.
Tuhan mengizinkan si malaikat untuk mengabulkan keinginan pria itu. "Mengapa baru sekarang, wahai Tuhanku?" tanya malaikat dalam hatinya.
Setelah begitu lama si pria tidak lagi berdoa, Tuhan justru mengabulkannya. Apa daya, ia adalah malaikat, ia akan bergerak setelah Tuhan mengizinkan.
"Mulai pekan depan, jabatan kamu naik," ujar para atasan.
Dia menyunggingkan senyum lebar kurang lebar. "Aku harus berusaha. Bagaimana aku bisa lupa? Usaha, ini usahaku sendiri, aku yang menciptakan kesempatan. Semuanya tergantung pada diriku sendiri," gumamnya sepanjang jalan pulang.
Si malaikat merasa nyeri mendengar gumaman itu. Ada sesuatu yang mengganggunya. Gumaman yang membuatnya meringis. Ingin rasanya ia bicara pada pria itu, memberi tahu bahwa ada yang salah dengan pemahaman pria itu.
Namun, tidak mungkin terjadi. Pada akhirnya ia hanya memerhatikan hari-hari pria itu dengan jabatan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Lalu, setelah waktu berlalu, muncul lagi keinginan besar dari pria itu.
Si malaikat merasa inilah waktunya untuk ia dapat mengabulkan doa manusia lagi. Ternyata ia salah besar. Pria itu meminta hal yang gila.
Waktu itu sudah lewat tengah malam. Bulan dan bintang bertebaran, cuacanya PNS bukan main meski sudah malam. Pria itu menyeringai sepanjang jalan. Napasnya memburu setiap kali mengingat rencananya. Dia kini tengah menuju ke rumah seseorang. Rumah dukun.
Dengan uang dan bermacam syarat dari dukun dia meminta sesuatu. "Aku mau sainganku lenyap dari dunia ini. Mampus! Mati! Modar! Supaya tidak ada lagi yang menghalangi!"
Dukun hanya perantara. Tempat dia meminta adalah iblis. Setelah keluar dari mulutnya, si iblis langsung meminta Tuhan untuk mengabulkan keinginan itu. Atas izin Tuhan, si malaikat diperintahkan untuk mengabulkannya.
Ada sesuatu yang salah, si malaikat meyakini itu. Ada yang mengganjal di dalam dirinya. Ia merasa tubuhnya diputar-putar, membuatnya ingin memuntahkan semua isi tubuhnya. Ia menghormati dan menyukai manusia, tetapi kali ini ia mual melihat manusia.
"Tidak, itu salah. Itu ... doa yang buruk. Itu jahat, saya tidak sanggup ...."
Apa daya, ia adalah malaikat. Perintah Tuhan mutlak. Ia mengabulkannya. Ia mencabut nyawa saingan pria itu dengan kematian paling tragis. Ia mual, ingin muntah. Bukan karena kematian saingan pria itu, tetapi karena pria itu sendiri. Manusia yang paling ia kagumi, lebih menjijikkan daripada iblis.
Ia ingin berhenti. Ia ingin kabur dari hidup pria itu. Tidak ada lagi yang namanya berurusan dengan doa atau keinginan manusia.
"Hamba mohon, Tuhan! Hentikanlah tugas hamba, gantilah hamba dengan yang lain, jauhkan hamba dari para manusia! Hamba tidak ingin mendengar doa mereka, ya Tuhan!" serunya pada Tuhan.
Apa daya, ia adalah malaikat. Tidak ada yang namanya malaikat jika membangkang dari perintah Tuhan. Si pengabul keinginan tak pernah mendapati keinginannya dikabulkan.