Di Yogyakarta, kota tempat dimana saya tinggal sekarang, masih banyak saya temui penjual jamu tradisional yang tetap bertahan. Di sini uniknya penjual jamu tradisional langsung meramu jamu dari bahan alami di depan pembeli. Ramuan tersebut dari bahan kering/segar, berupa empon-empon atau berbagai macam rimpang dan daun, yang kemudian dicampur dan disesuaikan dengan kebutuhannya.
Ketika awal-awal berada di kota ini, saya cukup heran, dengan beberapa tempat yang ramai dikunjungi orang. Pengunjung itu banyak yang antri. Kira-kira penjual apakah gerangan? Belakangan baru tahu, ternyataitu adalah penjual jamu tradisional.Ada di beberapa tempat antara lain di sekitar pasar Serangan dan di jalan Wates. Penjual ini buka sampai malam. Di pasar-pasar tradisional pun ada. Namun macam dan jumlah jamu yang dijual terbatas.
Kalau di kota-kota lain biasanya depot atau kios jamu, penjual hanya mencampur serbuk jamu dari kemasan sachet produk industri jamu yang sudah jadi. Tapi di sini berbeda. Uniknya penjual jamu ini meramunya langsung dengan bahan-bahan yang sudah ditumbuk, dan memeras sarinya dengan diberi air matang. Semua dikerjakan langsung di depan pembeli, kemudian saat itu juga langsung diminum oleh pembeli.
Ragam jamu yang dijual di kios jamu ini sebenarnya banyak juga yang sama dengan penjual jamu gendong seperti di kota-kota lainnya. Jenis jamu yang dijual adalah beras kencur, kunyit asam, sinom, cabe puyang, kunci suruh, temu lawak, pahitan dan uyup-uyup. Pelengkap minum jamu seperti madu, jeruk nipis dan telur ayam kampung pun tersedia.
Perbedaannya adalah kalau tukang jamu gendong, ramuan jamu itu sudah dalam bentuk cairan jadi, tinggal dituang di gelas lalu diminum. Namun kalau di tempat penjual jamu (kios jamu), bahan untuk jamu tersebut berupa gumpalan bahan yang sudah ditumbuk dan kemudian siap diperas diambil sarinya, di depan pembeli. Sedangkan jamu gendong itu sendiri, di Yogyakarta juga masih banyak. Namun kebanyakan penjual jamu gendong tersebut sudah tidak menggendong dagangannya, sebagian sudah beralih ke sepeda dan sepeda motor.
Khasiat masing-masing jamu tersebut menurut penjualnya adalah kalau beras kencur untuk menghilangkan pegal-pegal karena kelelahan dan untuk merangsang nafsu makan. Sedangkan kunyit asam adalah untuk menyegarkan tubuh dan untuk menghindarkan panas dalam. Bagi wanita juga bisa untuk melancarkan haid. Sinom bahannya hampir sama dengan kunyit asam, hanya saja perlu ditambahkan sinom atau daun asam muda, khasiatnyapun hampir sama dengan kunyit asam..
Untuk jamu cabe puyang khasiatnya juga untuk menghilangkan pegal linu.Pahitan dapat menghilangkan bau badan dan untuk mengatasi kurang nafsu makan. Jamu kunci suruh mengatasi keputihan pada wanita. Sedangkan uyup-uyup atau gepyokan berkhasiat meningkatkan produksi ASI bagi ibu yang menyusui. Sedangkan bahan baku untuk uyup-uyup ini adalah ramuan dari daun katuk, beluntas, temulawak dan asam. Sebagai pemanis jamu secara umum para penjual itu menambahkan gula merah atau gula pasir.
Jamu Cekok Untuk Anak-Anak
Selain jamu untuk orang dewasa, di Yogyakarta juga ada jamu khusus untuk anak-anak. Jamu ini disebut dengan istilah ‘jamu cekok’. Tujuan pemberian jamu ini adalah untuk meningkatkan nafsu makan anak-anak. Jamu ini dimaksudkan sebagai pengganti alternatif multivitamin yang banyak dijual dengan berbagai rasa dan bentuk yang memikat.
Jamu cekok ini kedainya bisa ditemui di depan Purawisata, Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta. Usaha jamu ini sudah cukup lama, bahkan sudah dalam hitungan ratusan tahun, karena mulai berdiri sejak tahun 1875. Kini dikelola oleh generasi ke lima.
Bahan yang dipakai adalah bahan-bahan alami campuran antara daun pepaya,kunyit, temu lawak, temu giring, temu ireng, dan asam jawa. Karena rasanya cukup pahit, maka ada cara pemberian jamu ini pada anak dengan cara dicekok. Dengan membuka mulut si anak, kadang dengan memencet hidung, maka ramuan jamu itu dimasukkan. Ramuan itu dibungkus kain dan cairan jamunya diberikan ke anak dengan diperas, sehingga cairannya masuk ke mulut si anak.
Umur anak-anak yang diberikan jamu cekok ini minimal berusia sembilan bulan sampai sekitar berusia lima tahun. Terkadang anak-anak itu meronta dan menangis karena penolakannya. Ada anak yang baru datang aja sudah mulai menangis padahal belum dicekok. Namun ada juga yang kalem, dan menerima dengan pasrah, karena sudah terbiasa.
Pemberian jamu ini dalam keadaan perut kosong untuk mencegah muntah ketika jamu ini diberikan. Untuk jamu cekok anak ini harganya cukup murah, yaitu 3 ribu rupiah saja. Pemberian bisa dilakukan minimal sebulan dua kali. Harga ini cukup terjangkau, karena itu tempat ini selalu ramai pengunjungnya. Bahkan menurut penjualnya, ada juga yang sudah mahasiswa meminta jamu cekok ini (mungkin karena sudah kebiasaan dari kecil).
*****
Yah, itulah salah satu tradisi lama yang masih bertahan di kota Yogyakarta. Cara yang unik dan berbeda dalam menjual jamu tradisional. Usaha jamu ini tetap bertahan dan memiliki pelanggan tersendiri, meskipun obat-obat modern yang praktis bermunculan. Masyarakat masih memiliki minat yang tinggi dengan mengkonsumsi jamu ini sebagai upaya untuk menjaga kesehatan. Mereka tidak peduli dengan higienitas tapi begitu percaya dengan khasiatnya. Tetap bertahannya tradisi lama ini juga merupakan pelestarian jamu tradisional sebagai warisan turun temurun dari nenek moyang tentang cara pengobatan tradisional khas Jawa.
Nah, bagaimana dengan anda, berminat untuk minum jamu? :-)
*****
Semua foto dari dokumen pribadi.
(Artikel Herti tentang Cerita dari Yogyakarta 2)
Artikel lainnya : Pasar Beringharjo, Aneka Kuliner Soto, Martabak HAR, Candi dan Situs Ratu Boko