Jika mendengar atau melihat kata migas, maka pikiran banyak orang akan tertuju pada P.T. Pertamina yang merupakan National Oil Company. Demikian halnya dengan saya. Jika mengenai minyak bumi, maka yang terlintas adalah kilang untuk proses pengolahannya menghasilkan produk seperti bensin dan solar untuk bahan bakar. Pikiran ini tidak salah sepenuhnya, karena memang Badan Usaha Milik Negara ini pada awal didirikannya bergerak di bidang eksplorasi, pengolahan dan pemasaran hasil tambang minyak dan gas bumi di Indonesia.
Sejak tahun 2003 didirikan BP Migas, atau Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang menjalankan fungsi regulasi dari P.T. Pertamina. BP Migas ini kemudian dibubarkan Mahkamah Konstitusi pada 13 November 2012 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Untuk menggantikan BP Migas tersebut Pemerintah menggantinya dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (disingkat: SKK Migas) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Jadi memang ada perbedaan tugas antara SKK Migas dan P.T. Pertamina. SKK Migas bertugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama (KKS). Pembentukan lembaga ini dimaksudkan supaya pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sebelum hadirnya BP Migas, kontrak-kontrak minyak ditangani oleh P.T. Pertamina. Ketika itu, kontrak migas ditangani oleh Badan Pembinaan dan Pengusahaan Kontraktor Asing (BPPKA), dan kemudian beralih ke Management Production Sharing (MPS). Pada saat itu Pertamina sebagai operator juga sekalian bertindak sebagai regulator. Dengan demikian sekarang P.T Pertamina dapat dikatakan sebagai pemain/penyalur/operator sementara SKK Migas (pengganti BP Migas) adalah sebagai pengelola/regulator.
Apa itu industri hulu Migas?