Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Roti dari Tuhan

1 Januari 2013   02:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:42 133 1
Di salah satu sudut kota yang tidak terlalu ramai itu, seorang anak kecil merengek meminta roti kepada ibunya. Dengan penuh kasih sayang, sang ibu mengajak anaknya pulang ke rumah yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri saat itu. Sesampai di rumah, si ibu berfikir sejenak sebelum memberikan roti untuk anaknya. Sekarang sudah tiba saatnya untuk mengajarkan satu aspek penting di dalam pemahaman bertuhan kepada si anak.

Dengan penuh kasih, ibu itu memangku anaknya tadi, sambil membujuk untuk mendengarkan nasehatnya sebelum mendapatkan roti. Begini anakku, setiap sore engkau mengulang dengan tulus, bahwa hanya kepada tuhanlah kita mestinya menyembah dan kepada tuhan saja kita memohon pertolongan. Nah anakku, ke belakanglah berwudhu, lalu shalatlah. Setelah itu berdoalah kepada Tuhan, mintalah roti kepadaNya

Si anak dengan patuh mengikut petunjuk ibunya. Dan begitulah, setelah si anak menyelesaikan ritualnya, ia ke dapur dan menengok ke dalam panci. Benar saja, di dalamnya ada dua buah roti. Roti yang tentu saja diletakkan oleh si ibu ke dalam panci, sementara si anak melakukan ritual ibadahnya tadi. Begitulah, setiap hari kejadian itu berulang. Ketika si anak merasakan membutuhkan roti, ia melakukan ritualnya, dan selanjutnya ada roti di dalam panci di dapur. Si ibu selalu menjaga agar keyakinan si anak kepada Tuhan bisa semakin kokoh.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Suatu hari, ketika tiba-tiba si ibu harus keluar kota karena ada keperluan mendadak. Maka tinggallah si anak sendiri di rumah. Dan seperti biasa, ketika matahari menjelang tinggi, si anak mulai melakukan ritualnya. Sebagi penutup, ia berdoa kepada Tuhan untuk mendapatkan roti. Namun kali ini, ketika si anak membuka panci di dapur, tidak ada roti di sana. Tidak ada ibu yang meletakkan roti ke dalam panci.

Si anak tercenung. Panci kembali ditutupnya. Kepalanya menengadah, pandangannya tajam sementara otaknya berputar cepat. Pasti ada yang salah di dalam ritual yang dilakukannya. Begitu pikirnya singkat. Tuhan pasti akan memberikan roti bila semua ritual itu dilakukannya dengan baik. Lalu tanpa berfikir lebih lama, ia segera ke belakang, membasuh seluruh anggota tubuh seperti yang telah dipelajarinya. Kali ini dilakukannya dengan hati-hati dan cermat. Lalu ia memulai ritualnya dengan lebih baik, selanjutnya memanjatkan doa dengan lebih menghiba.

Setelah rampung, ia bergegas ke dapur, membuka panci roti. Ah.. kosong. Tidak ada roti. Segera panci ditutupnya, lalu si anak kembali ke belakang, mulai membasuh anggota tubuhnya lagi. Ia sangat yakin, ada yang kurang sempurna di dalam ritual penyembahan yang dilakukannya sehingga tuhan belum berkenan mengisi pancinya dengan roti. Mungkin ada yang terlupa di dalam baris-baris doanya. Mungkin banyak kekurangan-kekurangan lain di dalam gerak lakunya.

Begitulah, dua kali, tiga kali hingga beberapa kali ia mengulang semua prosesnya, namun setiap kali panci dibukanya, tetap tidak ada roti di dalamnya. Hingga di kali yang ketujuh ia menyelesaikan semua ritualnya yang sudah begitu khusyuk, si anak mulai merasa berdebar di dalam dadanya ketika mendekati dapur. Bila sejak tadi ia langsung menerjang tutup panci untuk dibuka, kali ini ia tidak terburu-buru lagi. Dengan khidmad, ia memengang bibir tutup panci lalu melafalkan basmalah, sesuatu yang ia lupakan sejak tadi karena selalu begitu terburu-buru.

Dan alangkah takjubnya ia, ketika di dalam panci ternyata benar-benar ada dua roti seperti biasa. Namun roti ini benar-benar roti yang dikirimkan tuhan dari langit. Si ibu masih ada di luar kota. Lalu dengan sukacita, si anak melahap roti dari tuhan tersebut.

Keesokan harinya, ketika sianak baru saja mendapatkan lagi rotinya dari tuhan dan belum sempat habis dilahapnya, si ibu sudah kembali ke rumah. Ia begitu kuatir jangan sampai anaknya sudah kelaparan oleh keperluan mendadak dua hari kemarin. Namun baru saja ia memberi salam dan melangkah ke alam rumah, si anak menyambutnya dengan sepotong roti yang belum habis itu bersama kendi air untuk dahaga si ibu. Tentu saja si ibu sangat terkejut, sehingga sambil mengunyah sepotong roti itu, ia bertanya kepada anaknya, dari mana mendapatkan roti.

Kan ibu yang mengajarkan untuk selalu meminta kepada tuhan. Saya hanya melakukan nasehat ibu saja. Ibu tidak usah kuatir, tuhan selalu baik kepadaku dan memberikan rotinya setiap kali saya meminta.

Anak kecil itu di kemudian hari dikenal dunia bernama Abdul Qadir yang berasal dari kota Jilan (Khailan?) di dekat Kota Baghdad - Iraq. Ia memiliki keyakinan tauhid yang hampir tiada banding. Namun ketika di dalam doa-doanya tuhan belum berkenan, ia akan selalu mengoreksi diri untuk menyempurnakannya. Tidak ada sedikitpun prasangka buruk kepada Tuhan, karena ia sangat sadar, bahwa hanya diri manusia saja yang sering lalai di dalam kewajiban dan tugasnya. Itulah mengapa ia akan terlebih dahulu melihat ke dalam diri sendiri, menakar seberapa sempurna kualitas dirinya untuk pantas mendapatkan apa yang ada di dalam doanya.
diinspirasi dari satu khubah jumat
di kota Malino. Gowa Sulawesi Selatan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun