Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Berani Karena Keroyokan, Sembunyi Kalau Sendiri

13 Oktober 2014   02:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:18 989 14
Sepulang mengajar saya menjumpai 2 peristiwa lucu. Sekelompok anak SD berseragam merah putih menghadang sebuah pick up. Kebanyakan membawa batu. Pick Up pun memperlambat laju kendaraan. Anak-anak itu sudah merasa kegirangan dan merasa menang. Tiba di dekat kumpulan anak-anak itu, Pick Up memang berhenti, hampir satu anak naik. Namun ga jadi karena ketika dia mau naik, sang sopir menginjak pedal gasnya kenceng-kenceng dan beberapa temannya keburu kabur. Anak yang tadinya mau naikpun, entah panik entah apa, terjatuh dan hendak kabur.

Tapi si sopir keburu turun dan menggertak anak itu... "hei... mau jadi preman kau?  Sekolah di mana kau, diajari jadi preman?"

Sang anak SD itupun pucat pasi sebelum kemudian menyusul teman-temannya yang berlarian. Entah ke mana. Saya yang lewat ikut senyam-senyum.

Tapi ada peristiwa lain, ketika saya naek angkot dan tiba-tiba sekelompok anak SD berani menggedor-gedor angkot yang tidak mau berhenti. Salah seorang benar-benar melempar batu ke badan angkot. Hingga sopir kemudian berhenti dan mempersilahkan mereka naik. Awalnya tampak garang. Namun ketika tinggal satu dua anak yang tertinggal, mereka tiba-tiba menjadi manis. Sepertinya sopirnya juga hampir marah, tapi anak-anak itu tiba-tiba minta diturunkan.

Ya, mereka tentu berani karena keroyokan, temannya banyak. Coba kalau anak-anak SD ini sendirian, gimana mau menjadi preman untuk membajak kendaraan yang melintas. Anak SD. Bisa bayangin kan? Kasus inilah yang mengingatkan saya pada sosok FPI, Hercules, FBR, dkk. Mereka seakan punya keberanian dan kelebihan yang tak ada bandingnya. Mereka seakan-akan jagoan. Padahal, itu sebenarnya terjadi karena mereka bersama-sama dan kata kuncinya adalah keroyokan. Bayangkan kalau mereka satu-satu datang ke gedung DPRD jakarta, bawa batu satu ransel sekalipun ga akan pernah seberani ketika bersama. Bagi saya, kelompok-kelompok ini tak ubahnya gerombolan orang yang berani karena keroyokan. Apapun basisnya. Entah suku, agama, atau kepentingan ekonomi.

Untuk menguatkan identitas gerombolan ini kemudian mereka biasanya mereka menggunakan seragam tertentu. Seakan-akan dengan seragam itu, ia akan ditakuti. Dan kenyataannya memang begitu. Seragam bisa menimbul rasa percaya diri yang semu. Tapi secara positif bisa juga dimaknai sebagai kebanggaan. Seperti seragam pilot, seragam satpam, seragam tentara, seragam biara, dll. Mungkin juga seragam FPI, seragam FBR, atau tato dengan motif tertentu dari suatu kelompok.

Memang, gerombolan tidak harus dimaknai secara negatif. Ada juga kemudian kelompok-kelompok yang bermakna positif dan bermanfaat. Misalnya, seorang dosen dari UI atau ITB yang jadi konsultan suatu perusahaan atau LSM, ketika disuruh memilih sebagai konsultan atau sebagai akademisi, umumnya mereka tidak mau. Karena kepercayaan yang mereka dapat umumnya bukan kepercayaan atas prestasi individu, tapi karena ada nama besar institusi yang menaunginya.

Atau kalau kita mau melihat Norman Kamaru. Sebuah kasus lama tapi juga menarik, dia besar karena seragam polisinya ketika berjoget caiya-caiya. Bukan karena pribadinya. Makanya, begitu dia memutuskan dari kepolisian dan dilarang memakai atribut kepolisian, sudah tidak ada yang menarik lagi, sebenarnya. Maka baik kalau kemudian dia memilih untuk berwirausaha. Karena itu akan lebih baik daripada terus mengandalkan peruntungan yang sesungguhnya bukan dunianya.

Kembali ke masalah gerombolan. Kebersamaan memang memberikan efek aman, nyaman, dan besar. Kesendirian membuat sesorang terasing manakala ia tampil beda. Saya pernah datang ke sebuah pesta perkawinan yang, selain dengan mempelai perempuannya, saya tidak kenal orang-orang yang datang sama sekali. Hahaha... bisa dibayangkan betapa saya mati gaya. Apalagi saya pakai baju serba hitam kesukaan saya.

Ketika suasana kebersamaan itu dan kekuatannya digunakan secara negatif, bisa sangat berbahaya. Karena mereka bertindak bukan pertama-tama itu kemauan sendiri. Gerombolan ini, meskipun tidak menggunakan candu, tapi rasa aman dan ikatan kesatuannya ini bekerja layaknya candu. Semakin berani, semakin merasa diakui. Semakin anarkis, semakin dia merasa menjadi anggota dalam kebersamaan itu. Lalu mengapa kelompok-kelompok ini tidak ditekan atau kalau memang sudah tidak bisa mengorganisir diri dibubarkan saja? jawabannya jelas, karena ada banyak pihak yang punya kepentingan dengan mereka. Termasuk kelompok-kelompok yang nyata-nyata sebenarnya berlatarbelakang sebagai pembuat kerusuhan.

Wajarlah kalau kemudian ketika keadaan sudah terkontrol, ketika masing-masing orang yang membuat kerusuhan lalu bersembunyi. Karena dalam keadaan begitu, dia sudah kembali dalam keadaan normal. kecuali, kalau dalam imajinya dia tetap merasa punya kelompok imajiner. Dia akan tetap membangun kepercayaan diri dengan imajinasi gerombolan yang dibangunnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun