Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Pendidikan Jangan Hanya Membeo Diktat

7 November 2014   03:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:26 42 0
“Anak-anak… silahkan dipelajari halaman sekian yak…. nanti akan keluar dalam ujian….”

Begitulah model pendidikan yang akan mencetak beo-beo berijazah. Kejadian semacam itu membuat saya kewalahan, ketika saya mengajar kemudian seperti biasa anak-anak bertanya, “yang keluar dalam ujian ajah pak, yang mana…”

To the point. Begitulah istilahnya. Anak jaman sekarang gitu loh… suka to the point. Langsung ajah ke pokok permasalahan. Tanpa basa basi. Saya jadi inget seorang teman saya dulu, ditilang sama pak polisi gara-gara lampu sennya berwarna putih.

“prriiiittttt………” motor dihentikan. teman saya berhenti. Dan tanpa basa basi bertanya, “berapa pak?”

Entah kenapa polisinya jadi merah padam. dengan nada menegur polisinya berkata, “anda ini mahasiswa ya…. semestinya bisa dijadikan teladan, figur panutan. Anda mau menyuap saya? tidak bisa…. sudah ayo minggir dulu. Mahasiswa kok kayak gini, mau jadi apa Indonesia?”

Sampai di pinggir jalan, polisinya bertanya, “anda tahu kesalahan anda apa?”

“Lampunya silau ya pak?”

“Iya… sekarang mau sidang atau dititipkan. Kalau mau titip lima puluh ribu rupiah…. STNK dan SIM mana?”

Lalu ditunjukkanlah SIM sama STNK. Sang polisi menasehati lagi, “kalau anda mau menyuap polisi, itu namanya menghina korps. Anda paham? anda bisa dituntut dengan pasal pencemaran nama baik…”

Teman saya bilang, “kan saya belum selesai pak… berapa pak kalau mau titip saja ga usah sidang?”

_____________________

eitss… kok jadi ke situ. pointnya kan to the point. Gambaran semacam itu menunjukkan sikap dan sifat pendidikan kita yang semakin pragmatis, praktis, dan mekanis. Untuk mendapatkan nilai bagus, cukup memindahkan diktat ke dalam lembar jawaban. Kalaupun kemudian ada soal kasus, kesesuaian antara logika diktat dan logika pengajar menjadi prasyarat bagus tidaknya nilai. Secara moral barang kali yang mau ditanamkan adalah kepatuhan.

Tapi ada yang terlupakan, bagaimana mereka berlatih berfikir dan bernalar, kritis dan dengan demikian kepandaian itu muncul dari kegelisahan intelektualnya. Inilah yang sekarang hilang. Siswa dan mahasiswa, termasuk kadang pengajarnya senang dengan cara-cara pragmatis ini dalam pembelajarannya. Karena, ukurannya jelas. Mereka ternyata lebih senang menjadi diktator. Hehehehe…. kan ukuran benar salah adalah sejauh apa yang disampaikan dalam diktat, dicatat, dan dengan demikian tidak perlu mikir panjang lebar.

Di lain sisi, ada ekstrim yang sebaliknya. Malas membaca buku dan biasa dikenal dengan jawaban ‘mengarang indah’. Ini merupakan salah satu efek pembelajaran manakala orang yang belajar sama sekali tidak punya pegangan, apa yang harus dipelajari. Tanpa diktat, tanpa buku. Ada bukunya, tapi malas. Malas membaca ini kan faktornya banyak.

Bisa karena memang tulisannya ga menarik. Bisa karena tulisannya ga jelas. Bisa karena tampilannya ga menarik. Anak jaman sekarang gitu, loh. Tampilan menentukan. Tapi memang ada juga yang tidak memiliki passion untuk belajar dan memahami. Di bagian terakhir inilah akhirnya menjadi kata kunci dalam pembelajaran. Semenarik apapun, kalau memang tidak ada passion, ya tidak akan punya hati untuk belajar. Dan ini nanti menjadi seorang diktator yang lebih parah dalam belajar, yaitu sebagai pencontek.

Nah, ini kan sebenarnya pembelajaran untuk korupsi. Korupsi dimulai dengan kebiasaan jalan pintas. Jalan pintas sekarang kan aneh-aneh. Dari mulai copy paste, sampai sekedar memplagiat apa yang dia searching di google. Sering banget saya harus menyita smart phone ketika mengawasi ujian. Diktator semacam ini, memang lebih baik tidak usah ada di bangku pendidikan. Harus dididik ulang sejak awal alias direstart. Hehehee….

Lalu apa dong kalau ini ga boleh itu ga boleh?  Justru disinilah ditantang kreativitas berfikir dan bernalar, kebebasan untuk berargumentasi dan belajar sehingga pendidikan bukan hanya reproduksi, tapi produktif. Produktif dengan ilmu-ilmu yang konkret dan mencerdaskan. Untuk sampai ke sana jelas harus bisa menggabungkan antara kenyataan di lapangan dengan apa yang tertulis di diktat.

Saya sih lebih ingin mengatakannya sebagai sebuah refleksi sistematis. Refleksi yang bukan hanya merenung, tapi secara ketat disesuaikan dengan kaidah-kaidah ilmiah. Mahasiswa yang belajar hanya di bangku-bangku yang menghadapi diktat, dia belum sepenuhnya belajar. Semestinya, pendidikan yang mencerdaskan harus ikut dalam keprihatinan di sekitarnya. Terlibat dalam kampanye-kampanye yang bagus-bagus, maupun demonstrasi sebagai sebentuk pembelajaran yang berangkat dari refleksi sistematis itu.

Sedehananya, diktat perlu sebagai pegangan. Tapi jangan hanya membeo diktat, buatlah diktat tandingan untuk pribadi anda.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun