Saya kaget mendengar celetukan seorang penjual nasi goreng di dekat rumah saya. Sementara istrinya yang berkerudung hanya menyahut, "ya begitulah politik pak... yang baik jadi banyak musuhnya. Yang jahat malah banyak temennya..."
Batin saya, "peduli amaaattt..." yang penting makan nasi goreng enak, kan beres. Hehehe... mana hujan belum reda, pulang dari sebuah pertemuan kelaparan. Di depan saya kebetulan memang lagi ada televisi yang menyiarkan berita. Televisi ini memperlihatkan betapa banyak masyarakat yang menolak Ahok dan dalam salah satu tayangannya menunjukkan pejabat-pejabat yang tidak setuju A Hok dilantik jadi Gurbernur.
Tibalah tayangan seorang Haji Lulung. Belum juga dia bicara selesai, tukang goreng nasi komentar lagi, "yang ini mah preman pak... preman dia ini, ga mewakili warga jakarta...."
Lalu karena saya cuman senyam-senyum tak menanggapi, maka sambil menggoreng nasi, bapak itu bertanya, "sebenarnya tugasnya DPR itu apa sih? Kok perasaan ribut melulu...."
Saya terpaksa menjawab, "nah itu dia pak tugasnya.... bikin ribut... hahahaa..."
"Ga pak... kok kayaknya enak banget jadi DPR gajinya gedhe ga ada penting-pentingnya buat orang kecil macam saya.... saya saja nih pak, kerja dari pagi jualan es, lalu malamnya jualan nasi goreng begini... hasilnya buat pulang kampung ajah kurang. Lebaran kemaren saya ga pulang madura.... mahal ongkosnya pak... bisa tujuh ratus ribu..."
Melihat ceritanya yang memelas gitu, saya jadi 'trenyuh' juga. Meskipun wajahnya tidak memperlihatkan kesedihan, tapi jelas ada nada protes yang mau disampaikan. Entah protes kepada siapa.
"Sudah gajinya gedhe... korupsi lagi.." kata istrinya sambil membuat es jeruk untuk saya.
Mau tidak mau, saya akhirnya menanggapi, "padahal nasi goreng sampeyan enak loh pak..." (beneran kalau tidak enak mana mungkin saya langganan.
"Makanya, saya langganan di sini. Padahal saya dulu, paling ga suka nasi goreng. Sekarang, mencoba sekali langsung enak...."
"Alhamdullilah pak... tapi jujur kan?"
"Lha iya... saya ini seperti A Hok kok jujur. Tetangganya pak Jokowi saya..."
"Loh, bapak dari solo juga?"
"Ga sih... saya dari Klaten. Deket solo kan? hehehe... Bagusnya Jokowi itu langsung berani untuk melantik A Hok tanpa basa-basi. Memang 'edan' kok orang ini. Mirip-mirip Gus Dur saya pikir. Apa dia tidak takut dilengserkan ya?"
"Ya kayaknya politik itu jahat banget ya pak?"
"Ga... ga jahat juga pak. Justru kita harus molitik. Artinya memilih orang yang kita yakini baik dan benar. yang sesuai dengan keyakinan agar kita tidak nyesel. Soalnya, kalau kita tidak milih, keadaan akan jadi lebih kacau. Bayangkan, sekarang kita milih orang yang bener saja, musuhnya tetep banyak. Gimana kita ga milih? ya orang-orang yang ga bener itu ga punya lawan dan seenaknya memperlakukan negara."
Mungkin sudah jenuh dengan kotbah saya, kemudian nasi goreng dihidangkan. Pas buat menghilangkan lapar. "Ya, kita doakan saja ya pak... semoga saja yang jujur-jujur gini ga banyak direpotin kalau kerja..." Kata si tukang nasi goreng.
Lha iya... tentu semua berharap bahwa Indonesia selalu dipimpin oleh orang-orang yang tepat pada jamannya. Saya teringat dengan keraguan Soekarno dan Hatta ketika mau memimpin Indonesia. Saya yakin bahwa percakapan di dalam sebuah mobil itu imajinasi belaka, tapi permenungannya sangat dalam.
"Kamu yakin akan bisa memimpin negara ini?"
Saat itu bung Hatta bertanya kepada Bung Karno mengenai cara pemimpin Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan, dimana yang akan dipimpin adalah bangsa dengan 70 juta penduduk, dengan beraneka ragam suku, agama, budaya dan kekayaan alam. Soekarno menjawab bahwa ia yakin, meskipun tidak 100%. Bung Karno Menjawab. "Tidak ada yang lebih bernilai dari menaklukkan sesuatu meski salah, dibanding sembunyi dalam kesangsian. Kemerdekaan bukan tujuan, Bung. Kemerdekaan adalah awal. Dan kitalah orang-orang yang mengawali. Selebihnya kita percayakan pada anak-anak kita. Yah, Diantara mereka pasti ada pecundang. Tetapi pemimpin yang baik selalu muncul dalam peristiwa yang tidak terduga. Jika bukan kita, ya pasti ada orang lain, Bung. Dan kalaupun kita bukan pemimpin yang baik, biar sejarah yang membersihkan nama kita." Kata Bung Karno menutup diskusi meresahkan soal Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan.