"Pemilih milenial itu memiliki independent mindset. Mereka punya pola pikir yang independen dan enggan diatur oleh arus utama. Mereka lebih cenderung mencari informasi sendiri, menganalisis kandidat dan isu-isu yang relevan, dan membuat keputusan berdasarkan pemahaman pribadi mereka tentang masalah tersebut," kata Direktur Mi6 Bambang Mei Finarwanto, dalam keterangan pada media, Kamis (3/8/2023) kemarin.
Mantan Eksekutif Daerah Walhi NTB dua periode yang karib disapa Didu ini menegaskan, generasi milenial tumbuh dalam era teknologi digital dan internet yang memungkinkan akses mudah ke berbagai sumber informasi. Imbasnya, generasi milenial sering mengandalkan media sosial dan situs berita daring untuk mendapatkan wawasan lebih mendalam tentang calon-calon anggota legislatif dari berbagai partai.
Itu sebabnya, kata Didu, para pemilih milenial cenderung lebih terpapar kepada ideologi dan program partai secara langsung, daripada hanya mengandalkan popularitas Capres yang saat ini tengah melejit berdasarkan sigi yang dilakukan sejumlah lembaga survei.
"Kadidat yang ingin mendapatkan insentif elektoral dari pemilih milenial yang signifikan, tidak bisa hanya mengandalkan cara persuasi yang konvensional dengan menyebar baliho atau stiker belaka. Sebab, mereka adalah generasi yang tumbuh di era teknologi yang mengakses informasi dari sistus media daring dan media sosial," kata Didu.
Analis politik NTB yang dikenal humbble ini pun memberi bocoran bahwa pemilih milenial sering lebih peduli pada isu-isu spesifik. Mereka juga umumnya memiliki pemikiran yang lebih terbuka dan inklusif. Isu-isu spesifik itu kata Didu misalnya yang terkait dengan lapangan pekerjaan, perubahan iklim, kesetaraan gender, maupun yang terkait dengan informasi dan teknologi, misal game mobile legend.
"Karena itu, preferensi pilihan pemilih milenial pada calon Anggota Legislatif akan sangat ditentukan oleh bagaimana calon tersebut berkomitmen pada isu-isu yang mereka anggap penting, bukan berdasarkan survei calon presiden dari partai tertentu," tandas Didu.
Selain itu kata Didu, berdasarkan pengalaman pesta demokrasi dari beberapa negara, pemilih milenial tinggal di sistem multi-partai atau multi koalisi. Karena itu, dalam konteks ini, Coattail Effect menjadi lebih sulit terjadi karena pemilih memiliki pilihan yang lebih luas dan lebih beragam. Sehingga pemilih milenial lebih cenderung memilih partai atau kandidat dari partai berdasarkan program dan visi partai secara keseluruhan daripada hanya karena popularitas Capres.
Didu mengatakan, memang dalam Pilpres 2024, pemilih milenial akan menjadi pemilih yang dominan di seluruh Indonesia. Termasuk di NTB. Data KPU menyebutkan, di NTB, jumlah pemilih milenial dan Gen Z pada Pemilu 2024 mencapai 2,1 juta. Jumlah tersebut setara dengan 54 persen jumlah pemilih di Bumi Gora.
Karena itu, aktivis kawakan di NTB ini mengingatkan kepada bakal calon Anggota Legislatif, bahwa 2,1 juta pemilih milenial tersebut, tidak akan mudah dipersuasi untuk kepentingan insentif elektoral. Mereka butuh pendekatan dan treatment yang berbeda. Apalagi, saat ini, para pemilih milenial pun sangat sadar kalau mereka dijadikan target menambah insentif elektoral karena jumlah mereka yang sangat signifikan.
"Jangan lupa. Seiring dengan independensi mereka, pemilih pemula/milenial  juga sering menunjukkan sikap skeptis terhadap politik tradisional dan elit politik. Mereka cenderung mencari wajah baru, pemimpin yang lebih transparan, dan berorientasi pada solusi atas masalah sosial dan ekonomi," tandas Didu. ***