Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Merantau, Apa yang Dicari?

29 Desember 2013   10:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:23 103 1
Menjelang tengah hari di sudut Jalan Gaperta di Kota Medan, saya berpapasan dengan seorang perempuan penjual jamu. Rindu dengan segarnya jamu beras kencur yang sering saya tenggak di kampung halaman di Purbalingga, Jawa Tengah sana, saya pun menghentikan ibu penjual jamu itu untuk membeli segelas jamunya.

Sembari meminum jamunya kami mengobrol ringan. Dari cakap-cakap itu saya mengetahui kalau dia berasal dari Solo. Delapan tahun sudah merantau ke Medan. Mencari penghidupan yang lebih baik, katanya. Dan sepertinya harapannya terkabul. Tuhan menyayangi orang-orang yang gigih. Rata-rata penghasilan bulanan dari bisnis informal kecil-kecilan yang dilakoninya - ditambah penghasilan sang suami dari jualan bakso - boleh dibandingkan dengan jumlah yang dihasilkan pekerja kantoran kelas menengah dengan gaji bulanannya.

Saya hanya bisa iri dengan jadwal mudik rutinnya tiap tahun bersama keluarga ke Jawa sembari tak lupa memborong oleh-oleh khas Medan seperti Bika Ambon dan Bolu Meranti buat dibagikan ke keluarga besar di Solo. Namun setelah dipikir-pikir, sesungguhnya apa yang membuat saya iri kepadanya adalah kebebasan yang dimilikinya: kebebasan seorang entrepreneur yang berhak mengatur skedulnya sesuka hati, yang tak akan dapat ditiru seorang karyawan alias abdi kantoran seperti saya, terlepas dari betapapun tinggi status ataupun penghasilan dari perusahaan tempat bekerja.

Ya, buat anda yang belum pernah ke Kota Medan, jika sekali waktu datang kemari jangan heran dengan populasi orang Jawa di sini yang cukup signifikan, hidup berdampingan dengan warga dari etnis setempat seperti Melayu, Batak Toba, Karo, Mandailing, Pakpak, Nias, Angkola, Padang, Aceh, Banjar, hingga warga pendatang dari seberang lautan seperti Cina dan Madras (India). Medan seperti juga Jakarta, memiliki kekhasan tersendiri laksana Indonesia mini yang komplit dengan keterwakilan masing-masing etnis.

....

Well, Ketika berbicara tentang sebuah kawasan multietnis, kita sesungguhnya bicara tentang sekumpulan besar manusia-manusia yang telah melakukan hijrah. Dari segala penjuru mereka datang dan berkumpul di satu tempat (melting pot) yang dirasa cocok untuk mengembangkan diri.

Seperti ibu penjual jamu yang saya ceritakan tadi, jutaan orang bergerak tanpa dikomando oleh siapapun kecuali oleh intuisi dan keberanian mereka sendiri untuk beringsut dari tanah kelahiran mereka.

Ada jenis manusia yang karena "kalah bertarung", atau pernah bermasalah di kampungnya lantas mencari sesuatu yang lebih mudah diraih di tempat lain, sembari berupaya membersihkan namanya. Ini hijrah pelarian namanya.

Namun tak mesti dipantik sebuah kekalahan atau dosa masa lalu ketika seseorang memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya dan pergi ke tempat baru yang tak pernah dikenalnya. Motivasi merantau dapat berbeda antara satu orang dengan yang lain.

Bagi kebanyakan orang, merantau barangkali adalah pemenuhan desakan kebutuhan perut - dan kebutuhan hidup lain tentunya. Sebuah dambaan yang sederhana akan kehidupan yang lebih baik.

Pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi, merantau nampaknya bukan lagi sekadar solusi persoalan perut, tetapi menjadi sebuah pengembaraan intelektual, atau bahkan odisi spiritual. Ketika Ernesto "Che" Guevara muda mengembara menyusuri jalanan lembab Amerika Latin dengan sepeda motor Norton 500 cc-nya, tentu dia bukan sedang mencari PT yang membuka lowongan kerja, tetapi tengah menuruti intuisi dan panggilan takdirnya - yang kelak mengubah seorang calon dokter muda menjadi revolusioner.

Seperti Che, beberapa orang memang memiliki motivasi yang kompleks. Sulit untuk mengurai motivasi yang satu ini, namun dia seperti digambarkan dalam novel indah Paulo Coelho, The Alchemist: seorang anak gembala bernama Santiago memutuskan untuk pergi jauh merantau dari Tarifa, Spanyol, mengikuti rombongan karavan menyeberangi gurun sahara menuju ke piramida-piramida di Mesir untuk menuruti petunjuk dari mimpinya: mencari harta karun yang kabarnya terpendam di sana. Namun pencarian itu pada akhirnya berkembang menjadi lebih dari sekadar mencari harta-benda duniawi, melainkan menjelma menjadi sebuah pengembaraan spiritual; penemuan harta yang terpendam di dalam diri sendiri.

Seperti Santiago, orang-orang yang termotivasi oleh kebutuhan aktualisasi diri - tak hanya urusan perut - dalam perjalanannya akan menemukan hakikat dirinya yang sejati. Dia mengorbankan rasa aman, nyaman, dan kemapanan yang bisa diraih dengan lebih mudah di tempat asalnya demi tujuan abstrak yang seringkali sulit dipahami orang lain. Sementara di tempat baru, didorong oleh kondisi kontras yang serba kekurangan, penderitaan, dan - terkadang - pendzaliman yang dilakukan orang lain hingga hampir melampaui batas yang dapat ditahankannya, dia dituntun oleh sebuah kekuatan tak nampak untuk memurnikan tujuan hidupnya.

"Rasa takut akan penderitaan justru lebih menyiksa dari penderitaan itu sendiri. Dan tak ada hati yang menderita saat mengejar impian-impiannya, sebab setiap detik pencarian itu bisa diibaratkan pertemuan kembali dengan Tuhan dan keabadian," demikian ujar sang Alkemis kepada Santiago.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun