Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Kadar Ketidakwarasan

12 April 2010   02:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:51 162 0
Setelah menghabiskan energi membantu kegiatan Paskah, aku jatuh sakit. Yang bisa kulakukan hanyalah tidur, tidur, dan tidur. Setelah 3 hari 3 malam tidur tanpa henti, pada hari berikutnya aku mulai bangun. Namun ada sesuatu yang berbeda yang kurasakan pada diriku. Sesuatu yang baru, yang menyenangkan, meskipun nampaknya tidak semua orang setuju dengan pendapatku ini, karena kulihat tatapan mereka memandangku dengan begitu aneh.
“Aku tidak apa-apa,” kataku. Namun mereka tidak percaya. Mereka memaksa membawaku ke dokter. Dokter menyatakan bahwa tubuhku baik-baik saja, hanya, dalam otakku, sekarang ada kadar ketidakwarasan 20%, yang mana dokter itu sendiri tidak tahu bagaimana menyembuhkannya. Maka berkelilinglah aku ke dalam dan luar negri untuk disembuhkan dari penyakit yang tidak kuyakini. Dan semua angkat tangan. Semua pengobatan alternatif juga dicobakan padaku, tanpa hasil, kecuali satu, si dokter yang juga merangkap tukang ledeng. Rupanya dokter tukang ledeng ini agak bingung akan dirinya sendiri, kapan dia harus menjadi dokter dan kapan harus menjadi tukang ledeng. Ketika mengobati aku, dia memukul kepalaku dengan kunci Inggris, dan hasilnya, kadar ketidakwarasanku meningkat menjadi 22,6%.
Pernah seorang hamba Tuhan yang juga seorang pengusaha dipanggil untuk mendoakan aku. Setelah mendoakanku, ia mendekatiku, menyuruhku berlutut dan mulai mengurapi kepalaku dengan … sesuatu. Namun secara tak sengaja kalungnya yang berbentuk salib itu, yang kutaksir beratnya mencapai lebih dari sekilo, mengetok kepalaku. Alhasil, kadar ketidakwarasanku bertambah sebesar 3,14%. Rupanya itu membuatnya panik. Dalam kepanikannya, ia mengatakan bahwa kadar ketidakwarasan seperti itu adalah kadar yang pas untuk bisa memahami kebenaran. Aku bersyukur bertemu dengannya.
Akhirnya orang-orang mulai menyerah. Mereka mulai menerimaku apa adanya.
Aku pun mulai mengenakan selembar kain saja, mengubah makananku dengan makanan vegetarian (meski masih menggunakan MSG), dan hendak pergi ke padang gurun. Namun karena sejauh ingatanku tidak ada gurun di negara ini yang bisa kudatangi, apalagi setahuku tidak ada penerbangan ke daerah seperti itu, maka aku memutuskan untuk duduk saja di tembok depan rumahku. Aku pun mulai berkata-kata.

“Humpty Dumpty sat on a wall,
bacalah perkataan yang kutuliskan di facebook wall.
Dalam segala ketidakpastian, ada secercah kepastian. Dalam segala kepastian, ada secercah ketidakpastian. Zarathustra sudah mati, tapi Tuhan masih tetap ada dalam hati. Superman pun kalah oleh kryptonite, tidak ada di dunia ini yang sempurna. Siapakah manusia yang mengaku dirinya waras, biarlah aku meneliti hidupnya dengan seksama, dan akan kutunjukkan betapa tidak warasnya dia …”

Mbok-mbok pembantu rumah tangga, satpam-satpam, pemulung dan tukang becak mulai berkumpul mendengarkanku, dan mereka tertawa sambil bertepuk tangan riuh. Batinku, pastilah mereka ini memahami kebenaran. Karena itu kukatakan pada mereka:

“Berbahagialah kalian yang bertemu dengan kebenaran, karena kata si tukang kayu, kebenaran akan memerdekakanmu! Merdeka! Merdeka!”

Seorang tukang becak tua renta bertanya lugu kepada orang di sebelahnya,”lho wis 17 agustusan maneh ta?”
Namun ibu2 rumah tangga hanya mengintip dari jendela rumahnya sementara bapak2 suami mereka tidak ada di rumah bekerja. Keluargaku merasa malu, dan mereka memaksa aku menutup mulut dan masuk ke dalam rumah. Entah mereka merasa malu karena ketelanjanganku ataukah karena kebenaran yang kusampaikan.
Aku dipasung di dalam sebuah kamar mewah. Aku dipaksa makan makanan-makanan itu lagi. Sungguh menyedihkan. Tiap hari mereka menyediakan steak daging australia di hadapanku, atau terkadang ayam goreng, pizza, sushi, bim bim bap, kebab, dll – semua makanan sampah. Makanan yang dahulu kusukai, kini kuanggap sampah. Menjijikkan. Mereka menangis ketika aku tidak mau menyentuh semua makanan itu. Mereka memohon aku kembali kepada pikiranku yang normal. Maka kukatakan bahwa apa yang dahulu kuanggap normal, kini kuanggap tidak waras.

“Kebenaran bagi orang normal adalah bak pakaian nan indah yang tidak patut dikenakan, karena ketika engkau mengenakannya, engkau tidak lagi normal.”

Mereka mencoba segala cara untuk mengembalikanku ke kehidupanku sebelumnya. Suatu kali seorang wanita cantik didatangkan untuk menggodaku. Namun aku curiga dan was-was. Aku ingat nasib tragis si guru Panglos seperti yang diceritakan oleh Voltaire kepadaku. Ya, si Panglos yang selalu mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah yang terbaik yang paling mungkin terjadi. Ketika itu ia sedang memberikan kuliah mata pelajaran biologi kepada seorang gadis muda yang disangkanya masih lugu, dan tidak lama kemudian si guru Panglos menderita penyakit sipilis. Aku lupa, apakah dia tetap beranggapan bahwa yang terjadi padanya adalah yang terbaik yang mungkin terjadi, ataukah dia merevisi ulang pendapatnya itu. Ah, tapi mungkin saja si Voltaire hanya membesar2kannya untuk mendramatisir pendapatnya sendiri.
Ketika di rumahku mengalami mati lampu, seorang ahli kelistrikan dikirimkan untuk memeriksa keadaan. Setelah memperbaiki kelistrikan di rumahku, ia menghampiriku. Ia mengatakan dapat mengobatiku, karena ia juga seorang psikiater. Memang jaman ini banyak orang merangkap profesi. Ia menanyaiku banyak hal. Ia menanyaiku, apa yang kuketahui tentang dunia ini. Maka kukatakan padanya bahwa dalam keteraturan, ada ketidakteraturan; dan dalam ketidakteraturan, ada keteraturan. Ia menggaruk-garuk kepalanya. Lalu ia menanyaiku lagi, apa yang kuketahui tentang manusia, maka kukatakan bahwa dalam keseragaman, ada keberagaman; dan dalam keberagaman, ada keseragaman; Demikian juga, dalam setiap perbedaan, masih bisa ditemukan persamaan; dan dalam setiap persamaan, masih selalu tersisa perbedaan; motif manusia menentukan yang mana yang mau ditonjolkan. Sekali lagi ia menggaruk-garuk kepalanya. Rupanya kini ia yakin akankeadaanku. Lalu ia memasangkan seperangkat alat2 kelistrikan pada diriku, dan mulai memeriksa beberapa lampu indikator. Setelah beberapa waktu, ia menyimpulkan bahwa ada beberapa bagian sarafku yang mengalami short-circuit, dan itu menyebabkan logikaku carut marut dan melompat-lompat. Ia berpikir untuk me-reset diriku.
Aku terkejut sekali, karena aku tidak menyukai hal-hal yang berbau kelistrikan. Listrik dimengerti oleh manusia melalui Benyamin Franklin yang bermain dengan petir. Dan petir adalah senjata dewa Zeus. Dan aku tidak menyukai ide bahwa kata Zeus dan kata Theo dibilang kerabat, meskipun bisa jadi itu tidak salah. Maka aku bertanya pada dokter listrik itu:

“Menurut dokter, bagian mana dari tubuh saya yang merupakan reset button?”

“Telingamu,” jawabnya.

Aku pikir akan membutuhkan waktu lama bagiku untuk merenungkan jawaban tersebut. Aku diam saja.

“Apakah ada pertanyaan lain?” tanyanya.

“Ya,” jawabku. “Mengapa Yesus membutuhkan 3 hari untuk bangkit dari kubur?”

Ia menggeleng2kan kepalanya sambil tersenyum. Kulihat bola matanya bergulir ke atas sejenak seperti seorang yang putus asa, dan tangannya memberikan isyarat padaku untuk diam. Kemudian ia mendekati telingaku, dan …

“Stop! Stop!” teriakku, “Mengapa kamu me-nyetrum telingaku?”

“Oh sorry, sorry,” kata istriku,” ada nyamuk di telingamu, dan maaf, aku tidak bermaksud menyetrum telingamu dengan alat penangkap nyamuk ini.”

Aku membuka mataku, dan melihat wajah istriku tersayang di hadapanku. Dia tersenyum, rupanya menganggap kejadian ini lucu. Sementara aku masih merasa gundah dan tak percaya. Kutanya padanya,”Sayang, menurutmu … aku ini … kurang waraskah?”

“Oh itu sudah pasti!” kata istriku sambil menciumku. Dan aku pun terkesima dengan jawabannya …

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun