Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Apa yang Salah kalau Kenal Seseorang?

3 September 2013   14:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:26 138 0

Akhir bulan lalu, Ridwan Hakim, putra Hilmi Aminuddin, Ketua Majelis Syuro DPP PKS kali pertama hadir dan memberikan kesaksian di pengadilan tindak pidana korupsi di Jakarta. Pucat, gugup, dan tegang terlihat di wajah pemuda ini. Sampai-sampai majelis hakim bertanya kepada saksi Ridwan yang terlihat tegang. Ridwan, dihadirkan sebagai saksi untuk tersangka Ahmad Fathanah. Seperti diketahui, Fathanah tertangkap tangan oleh KPK saat menerima uang suap sebesar 1 miliar di sebuah hotel di Jakarta bersama seorang perempuan. Tidak hanya itu, KPK langsung hari itu juga menangkap Presiden PKS (saat itu) Luthfi Hasan Ishaaq yang diduga memerintahkan Fathanah menerima uang suap dari PT indoguna Utama untuk memuluskan kuota impor daging sapi.

Penetapan status tersangka terhadap mantan Presiden PKS ini terkait dugaan suap dalam proyek impor daging sapi tidak hanya membuat kaget PKS namun juga publik. Betapa tidak, para kader PKS selalu menyebut partainya adalah partai bersih, jujur, dan profesional. Anehnya, petinggi PKS malah menuding KPK melakukan konspirasi untuk menghancurkan PKS pada pemilihan umum (pemilu) tahun 2014. Mestinya petinggi dan kader PKS menjadikan kasus itu sebagai momentum untuk melakukan bersih-bersih, introspeksi diri, dan membantu KPK agar secepatnya terungkap dengan jelas. Tidak cukup hanya dengan tobat nasional seperti digagas pengganti petinggi partai itu.

Pasca itu elit dan kader PKS panik karena pucuk tertinggi di partai yang kerap membangkang di kabinet sekarang ini ditangkap KPK. Syahdan, berbagai bantahan keluar dari kader PKS dan menyerang KPK terkait hal diatas. Bagi saya, sikap PKS saat itu tidak aneh karena mereka sering menggunakan itu untuk mengalihkan perhatian publik. Kemarin, drama itu terulang, saat Ridwan Hakim menyebut nama seseorang bernama SENGMAN yang diakuinya adalah utusan Presiden RI. Jelas, itu sudah kelewatan, ngawur, dan tidak berdasar.

Terkait hal itu, pihak Istana Kepresidenan memberikan pernyataan bahwa tidak pernah sama sekali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan mandat sebagai utusan khusus kepada Sengman, meski mengenal yang bersangkutan sebagai pengusaha. Hal itu dikemukakan oleh Juru Bicara Presiden Julian A Pasha di Astana, Kazakhstan, Senin (2/9/), saat ditanya mengenai Sengman yang disebut dalam sidang kasus impor daging sapi. Julian mengatakan Presiden SBY dalam kapasitas sebagai Pangdam Sriwijaya pada periode 1996-1997 di Sumatera Selatan mengenal Sengman sebagai pengusaha setempat.

Hemat saya, justru pernyataan dari Istana itu menyiratkan pesan kalau SBY tidak memungkiri kalau dirinya mengenal Sengman. Keterbukaan yang dilakukan Istana semestinya patut dihormati. Namun demikian, public tidak boleh menjustifikasi kalau kenalnya SBY dengan Sengman berarti memerintahkan yang bersangkutan berbuat melawan hukum. Wajar saja kalau saat itu seorang pejabat TNI mengenal baik dengan sesame masyarakat sekitar tanpa terkecuali seorang pengusaha. Lantas, apa yang mesti didebatkan kalau seseorang mengenal orang lain?. Bukankah itu bagian dari interkasi dalam hidup ini. Sepanjang perkenalan untuk tujuan baik tak patut rasanya itu dipolemikkan.

Kepanikan kader PKS semakin terlihat dengan jelas, mereka berusaha mengalihkan kasus yang menimpa partainya dan mencoba mengarahkan opini pada kasus yang lain. Upaya yang dilakukan oleh kader PKS bukan hanya berusaha untuk mengalihkan isu semata tapi mereka juga berusaha menggiring hukum yang sedang berjalan dalam ranah opini publik. Seperti orang yang lebih paham hukum tapi berprilaku takut akan proses hukum, kader PKS berusaha membalikkan fakta yang ada. Partai cerdas yang beragama sepertinya sudah tidak layak di sandang lagi oleh PKS, melihat kader kadernya yang berusa membenarkan sebuah kesalahan dan membudayakan membela yang salah dalam kasus suap sapi impor ini.

PKS Gagal Pemilu 2014

Kasus ini menjadi tamparan keras buat PKS yang notabenenya dikenal sebagai partai “bersih dan peduli”. Ditangkapnya LHI juga seolah menegaskan bahwa partai-partai berbasis Islam tidak lebih baik dari partai non agama. Politisi partai berbasis Islam seharusnya punya misi dakwah yang jelas. Mampu merefleksikan spirit keagamaan yang dimiliki terhadap realitas kehidupan: peradaban, keadilan, nilai keagamaan, dan persatuan yang terpuruk.

Ini adalah sebuah anomali, kita ingat bahwa PKS pernah melakukan kerjasama dengan KPK dalam pemberantasan korupsi. Hal itu berarti mementahkan kerjasama yang dibuat PKS bersama KPK dalam pemberantasan korupsi beberapa waktu lalu. Kemudian lainnya adalah, jika memang benar melakukan tindakan korupsi bukankah itu tindakan konyol dengan mempertaruhkan nama besar partai yang sudah stabil dan memiliki kader paling solid saat ini? Hanya untuk 40 miliyar rupiah mempertaruhkan nama besar PKS itu bukan lagi tindakan konyol, tapi ugal-ugalan kalau memang benar terlibat kasus suap ini.

Kasus impor daging ini jelas merupakan tsunami politik bagi PKS. Kasus ini melucuti jantung kredibilitas partai yang selama ini menjual tagline bersih, peduli, dan profesional. Harus diakui ketimbang partai lain PKS relatif lebih bersih. Sebelumnya tidak pernah ada dalam sejarah kader PKS yang bermasalah di KPK. Sekarang sekali berurusan dengan KPK langsung melibatkan pucuk pimpinan tertinggi PKS dan bukan tidak mungkin juga menyeret Kementerian Pertanian yang dikuasai kader PKS.

Perolehan suara PKS di dua pemilu terakhir yang belum menyentuh angka 10% menunjukkan bahwapartai ini sarat dengan masalah justru membuatnya bakal ditinggal pemilihnya pada pemilu mendatang. Satu kasus korupsi ditambah hasil penemuan BPK tentang pengadaaan impor daging sapi memperlihatkan kalau partai ini tidak lagi populer di mata pemilih. Jadi, kalau saat ini PKS telah mencanangkan target tiga besar di pemilu legislatif tahun 2014 rasanya target itu mesti dipikirkan ulang mengingat rekam perolehan suaranya di pemilu-pemilu sebelumnya. Bisa jadi pemilu 2014 mendatang menjadi pemilu yang kelabu bagi PKS –untuk tidak mengatakan gagal- karena tiak memperoleh suara yang berarti dan terancam gagal dalam melampaui parliamentary threshold.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun